Thursday, November 2, 2017

Komunikasi Produktif: Bahasa Tubuh

Ken berusaha meniru tingkah laku Kucing
Berkomunikasi dengan Ken yang saat ini berusia 26 bulan, bagi saya, adalah salah satu hal yang menantang dan sering kali menguji kesabaran. Meskipun Ken sudah bisa berbicara dengan cukup jelas, namun sebenarnya, anak seusia Ken masih butuh banyak dibantu dalam hal menyampaikan apa yang diinginkan atau yang dirasakannya. Belum lagi rasa ingin tahunya yang sangat, sangat besar, membuat ia melakukan hal-hal yang kerap kali membuat saya khawatir dan harus berulang  ulang ulang kali menyampaikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hahah, terkadang sampai berbusa mulut ibunya, tapi Ken masih juga melakukan hal yang sebenarnya tidak diboleh dilakukan, misalnya dilarang main di dekat alat olahraga karena takut terjepit, tapi anaknya masih saja melakukannya. Hal lainnya adalah Ken sedang ada dalam fase sering menolak ketika diminta mandi,buang air di toilet atau bahkan saat mau ganti celana. Intinya, saat ini saya benar-benar sedang ditantang oleh Ken untuk bisa berkomunikasi produktif atau berkomunikasi yang ada hasilnya, jadi nggak cuap-cuap aja. Pas banget yaaa sama tugas yang sekarang. Walaupun, saya yakin sih materi ini pasti akan berguna sampai berapapun usianya Ken.

Jadi, mari kita cerita soal praktik komunikasi produktif hari ini...

Day 1 - Memanfaatkan bahasa tubuh
Saat berada berdua saja dengan Ken di rumah (Errr... sebenernya sekarang maasih bertiga sih sama ayahnya), saya biasanya menyiapkan beberapa kegiatan (invitation play) agar Ken tidak bosan dan belajar sesuatu (sambil bermain) di rumah seharian, sembari menunggu sepupunya pulang dan akhirnya berbaur main sesuka mereka. Seperti biasa, terkadang Ken mau mengikuti kegiatan yang saya siapkan dengan excited dan serius. Tapi, terkadang ia juga menolak dan memilih bermain atau melakukan hal lain yang dia mau. 

Hari ini, saya mencoba menawarkan berkegiatan 'menjahit' dengan materi kertas dan tali. Senangnya hati ibu, ternyata Ken mulai tertarik dan serius mengerjakannya. Padahal sebelumnya kegiatan ini pernah ditolak mentah-mentah. Setelah selesai dengan kegiatan menjahitnya, Ken saya tawarkan untuk meronce manik-manik, sebab sebelumnya dia begitu serius dan senang mengerjakannya. Ternyata, saya salah... Ken sedang tidak mood main manik-manik. Alhasil, dia mengekspresikan hal itu dengan menyebarkan manik-maniknya ke penjuru kamar (menurut dia seru kali ya, semacam sebar confetti gitu). Saya udah pasti lah kecewa, soalnya selain jadi berantakan, jadi banyak yang hilang. Gemes lah pokoknya. Kalau tadi sumbu kesabaran saya sedang pendek, pasti saya sudah menghujamnya dengan perkataan larangan yang tidak efektif sambil ngomel-ngomel bilang "jangan...jangan...tidak...tidak...no...no..dsb" yang tidak berujung pada solusi dan justru membuatnya cemas dan merasa dirinya buruk karena terus menerus disalahkan. Padahal, bisa jadi itu adalah salah satu bentuk rasa penasarannya yang sebenarnya merupakan salah satu fitrah baik, uyaitu punya rasa ingin tahu yang besar. Oke, jadi hal itu dulu yang harus saya sadari *berdoa biar nggak lupa.

Sebenarnya ingin juga sih marah-marah, tapi untung saya cepat sadar dan memilih diam, lalu menunjukkan ekspresi kecewa saya dengan bahasa tubuh dan menggunakan i-message sambil berkata, "Ken, ibu sedih ya kalau Ken seperti itu. Ibu nggak suka kalau Ken sebar manik-maniknya karena jadi berantakan. Nanti kalau banyak yang hilang, Ken jadi nggak bisa main lagi." Kesalahan saya saat itu adalah tidak langsung menyampaikan rasa empati kalau mungkin dia sedang tidak ingin main manik-manik *catatan untuk perbaikan 

Setelah beberapa saat saya membiarkannya sibuk dengan apa yang dikerjakannya sendiri, saya menghampirinya dan bilang, 
Ibu: "Ken ibu sedih kalau Ken lempar-lempar kayak tadi." Ken melihat saya dan memperhatikan ekspresi saya lalu dia bilang, 
Ken: "bu, jangan sedih bu..." Aduh, saya terharu beneran.
Ibu: "Ken mau bikin ibu happy lagi nggak?"
Ken: "mau..."
Ibu: "Kalau gitu, Ken dan ibu nanti beresin manik-maniknya ya"

Kemudian, Ken ikut membereskan manik-manik yang berserakan di lantai dooong :''). Sejujurnya saya nggak nyangka kalau Ken mau ikut membantu. Bila saya sudah marah-marah duluan, pasti ending-nya akan bikin lelah hati, baik saya dan Ken. Sebenarnya yang bikin saya begitu senang bukan hanya karena Ken mau ikut membantu, tapi saya merasa saat itu Ken sudah bisa memahami perasaan orang lain dan menunjukkan empatinya dengan membantu ibu. Sesudahnya, so pasti Ken saya beri pujian.

Bagi saya, melakukan komunikasi seperti itu memang perlu usaha karena biasanya sudah terbawa emosi duluan. Yang pertama adalah berusaha untuk bersabar dulu dan memahami kenapa anak berperilaku seperti. Lalu, dalam berkomunikasi dengan anak kali ini, saya meng-highlight kaidah 7-38-55 (Keberhasilan komunikasi dipengaruhi oleh 7% aspek verbal, 38% intonasi suara, dan 55% bahasa tubuh). Ternyata anak lebih banyak mengobservasi apa yang kita tunjukkan dibandingkan dengan apa yang kita katakan. 


Semoga bisa makin luwes dan semoga bermanfaat untuk yang membaca ya!

Cheers!
Sawitri Wening


#hari 1
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

No comments:

Post a Comment