Tuesday, September 29, 2015

Sebuah Renungan: Efisiensi Nyawa

"Dunia ini kok kayak mau ngurangin manusia, ya" - Ibu

Sambil menatap nanar berita kabut asap di Sumatera
Sambil mendengar kabar dari Mina
Sambil mengingat pengumuman di mesjid hampir setiap subuh


.... mungkin kita sedang diingatkan (kembali)



- SW -

Monday, September 28, 2015

BPJS: Tentang Biaya Melahirkan

Mau flashback dan sharing sedikit tentang memilih tempat bersalin dan biaya persalinan Ken kemarin karena siapa tahu berguna buat yang membaca, terutama yang mau memanfaatkan akun BPJS-nya. 

Memasuki trisemester kedua, saya dan suami memang sudah berencana untuk memanfaatkan asuransi BPJS yang pada saat itu masih di-cover oleh kantor saya. Yah, mengingat biaya persalinan jaman sekarang lumayan, apalagi biaya melahirkan di rumah sakit. Saya pun cepat-cepat meminta didaftarkan BPJS dan memilih fasilitas kesehatan I (faskes I) di klinik dekat rumah orang tua saya. Alasannya karena ingin melahirkan di dekat rumah, karena saat itu kami berpikir kemungkinan akan tinggal dulu di rumah orang tua untuk sementara waktu, sambil belajar mengasuh bayi. Jadi, kalau waktunya sudah tiba, bisa langsusng cus ke rumah.

Atas saran teman yang mengurus pendaftaran BPJS, saya diminta mencari klinik pratama dekat rumah yang terdaftar sebagau faskes I di wilayah Jakarta Timur. Setelah mencaru tahu daftar faskes I by google (atau bisa juga cek di sini), saya pun akhirnya memilih salah satu klinik yang tak jauh dari daerah rumah.  Setelah beberapa bulan kontrol di rumah sakit (tanpa menggunakan BPJS), kami pun mencoba menggunakan fasilitas BPJS dengan meminta rujukan ke bidan yang bekerjasama dengan klinik tersebut karena katanya kalau ingin menggunakan fasilitas BPJS, minimal pernah 1-2 kali kontrol di faskes I. Jadi, klinik faskes I kami itu tidak melayani pemeriksaan kehamilan, maka kami di-refer ke bidan yang sudah ditunjuk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Selanjutnya, kalau mau periksa dan melahirkan (secara normal) ya di bidan itu. Kalau ternyata kondisi ibu dan bayi membutuhkan treatment khusus, baru deh minta rujukan lagi untuk dibawa ke rumah sakit--itu pun biasanya kita nggak bisa seenak jidat memilih rumah sakit mana yang kita mau. Ribet ya? Emang... saya juga sempat berpikir begitu kok.

Setelah berdiskusi dengan suami, kami yang berencana lahiran normal tidak keberatan untuk ditangani bidan--kesannya underestimate bidan banget ya (maaaaaf)... Tapi jujur saja, waktu itu saya sempat ragu. Yah, apalagi kalau nggak kemakan trend. Jaman sekarang ibu hamil dimana-mana lebih percaya ke obgyn daripada bidan (tentu karena berharap penanganan yang lebih baik). Kunjungan pertama ke Bidan Tuti (itu nama bidannya), saya sempat surprised sama penanganan bidan jaga saat itu. Beda banget ya sama kalau kontrol di obgyn, hahah (tergantung obgyn-nya sih, saya membandingkan dengan obgyn yang biasa saya sambangi)... Lebih banyak kesan positifnya sih karena pendekatan yang dilakukan bu bidan begitu hangat karena banyaaaak banget nasihat-nasihat yang diberikan (cailah...). Untuk mengetahui posisi bayi pun bukan dengan USG tapi dengan menekan-nekan perut (entah apa nama tekniknya). Yang bikin kita nggak sreg adalah tampilan klinik bidan yang terkesan kurang profesional dan kurang bersih. Maka, saat itu adalah kali pertama dan terakhir saya dan suami kontrol di bidan itu--selain karena alasan tadi, ternyata kami merasa kurang fleksibel kalau harus kontrol di sana, mengingat kami masih tinggal di Depok pada saat itu.

Klinik Bidan Jeane
Kebetulan di dekat kontrakan mungil kami ada klinik bidan. Karena satu hal, saya mengajak suami untuk kontrol di sana. Berbeda dengan kesan kami ke bidan sebelumnya, kami begitu senang dengan kondisi klinik bidan ini yang terlihat profesional. Bidan Jeane pun ternyata sudah lama praktik disana sejak tahun 80-an. Selain itu, setiap kontrol Bidan Jeane juga menggunakan USG sekaligus mempraktikkan pemeriksaan perut konvensional ala bidan (perut ditekan-tekan) juga untuk memastikan keakuratan pemeriksaan. Hari itu pun saya mengajak suami melihat kamar rawat di sana dan kami langsung suka karena kelas 1-3 hanya umtuk satu pasien dan ada kebijakan rooming-in. Selain itu, biaya melahirkan di Klinik Bidan Jeane ini cukup terjangkau dan masih ter-cover oleh asuansi dari tempat suami saya bekerja. Urusan biaya melahirkan pun selesai... kami bisa bernapas dengan lega dan fokus mempersiapkan kelahiran Ken.

Tapi... takdir berkata lain. Ternyata saya harus menjalani operasi caesar untuk melahirkan Ken. Beruntuuung sekali dokter rekanan Bidan Jeane yang juga praktik di klinik itu, dr. Yun bekerja di rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan,

Memanfaatkan BPJS Kesehatan
Kalau selama ini saya sering mendengar komentar negatif soal BPJS, saya mau share tentang pengalaman 'menyenangkan' saya menggunakan fasilitas ini saat melahirkan Ken di RS Kesdam Jaya Cijantung yang lalu. Nah loh jauh banget ya rumah di Pisangan lahiran di Cijantung. Ini karena dr. Yun yang menangani saya praktik di sana. Bersyukur sekali RS itu dicover oleh BPJS  untuk wilayah Jakarta Timur, jadi saya bisa minta rujukan ke sini. Karena udah pede duluan akan lahiran normal, saya kurang prepare cari tahu soal BPJS ini jadi ada informasi yang baru saya tahu H-1 sebelum lahiran. Biar lebih mudah dipahami saya tulis point by point aja ya.

1.  Bapak, Ibu... ternyata bayi yang belum lahir bisa dibuatkan akun BPJS-nya (ini yang saya baru tahu). Jadi, ada baiknya menginjak trisemester ketiga, calon bayi sudah dibuatkan kartu BPJS karena prosesnya konon memakan waktu sekitar 2 minggu untuk membuatnya. Menurut saya ini penting sih karena biaya kamar dan perawatan bayi saat melahirkan juga akan dicover, dan kalau bayi butuh tindakan lain pasca melahirkan, bayi sudah ter-cover BPJS. Caran pendaftaranya bisa lihat di sini.

2. Sebelum bisa ditangani di Rumah Sakit, perlu mendapatkan surat rujukan terlebih dahulu dari Faskes I dengan menunjukkan rekam medis ibu selama mengandung--baiknya disertakan foto hasil USG terakhir yang menunjukkan diagnosis ibu membutuhkan tindakan khusus. Apabila tidak ada catatan khusus, untuk bisa memanfaatkan fasilitas BPJS, biasanya klinik akan merujuk ke bidan rekanan apabila tidak terdapat fasilitas obgyn atau bidan di klinik Faskes I.

3. Sekadar tips: pilih faskes klinik 24 jam agar lebih mudah saat butuh pengobatan dan meminta rujukan. Kalau di Puskesmas konon dibatasi hari kapan bisa mengurus rujukan terkait dengan prosedur dan birokrasi, sehingga sulit kalau butuh waktu cepat seperti kasus saya kemarin--dari pengalaman beberapa rekan.

4. Periksa kelas yang ditanggung oleh akun BPJS kita. Saat melahirkan Ken, karena beberapa alasan, saya naik ke kelas VIP (sebelumnya kelas I). Biayanya masih ditanggung oleh BPJS dan kami hanya harus membayar selisihnya, Alhamdulillaah...

5. Cari tahu juga apakah asuransi swasta Anda bekerjasama dengan BPJS atau tidak, sebab selisih biaya dapat di-cover oleh asuransi swasta Anda sehingga membuat Anda tidak harus mengeluarkan biaya lagi. Kalau kantor suami saya BNI Life Syariah sudah bekerja sama dengan BPJS,

6. Tindakan Post Op-- ganti perban 1x sudah termasuk dalam pelayanan BPJS. Jadi, kalau Anda harus kembali lagi untuk cek luka jahitan kedua atau ketiga kalinya, Anda harus meminta surat rujukan lagi dari Faskes I. Sebaiknya minta rujukan untuk rawat jalan sampai sebulan kedepan agar tidak bolak-balik meminta rujukan lagi kalau harus kembali ke RS untuk cek luka jahitan.


Sekian dulu sharing dari saya. Semoga bermanfaat! ;)

- SW -

Monday, September 7, 2015

Ken's Birth Story

Hi!
So, here I am sitting next to my little son whom just fell asleep peacefully after second round of breastfeeding. Yes world, meet my son… Ken Maruta Rasyadi




Setelah beberapa minggu ini masih beradaptasi dengan peran baru sebagai ibu, akhirnya tibalah waktu untuk update blog yang sedikit berdebu ini. Jadi, alhamdulillaah saya sudah melahirkan bayi laki-laki yang sudah dinanti-nanti dari minggu ke-37 (karena katanya memasuki usia kandungan tersebut, bayi sudah bisa lahir) dan makin dinanti-nanti setelah beberapa orang teman yang juga sedang hamil sudah duluan melahirkan—anaknya kompetitif, heheh… nggak deng).  
Karena setiap ada yang jenguk minta diceritain kisah kelahirannya Ken, jadi saya tulis aja deh. Biar baca sendiri… (laah~).

Iya, pada akhirnya saya harus menjalani operasi Caesar untuk melahirkan Ken. Di minggu ke-40, posisi ken belum juga turun ke panggul padahal saya dan suami sudah berusaha lebih keras agar si bayi bisa segera turun ke jalan lahir. Atas saran Bidan Jeane, kami diminta untuk konsul ke dr. Yun lagi keesokan harinya (Kamis, 13/08/15) untuk mengetahui apakah perlu dilakukan tindakan operasi. Setelah konsul dengan dr. Yun di kamis sore, saya akhirnya disarankan untuk operasi karena diagnosis awal menyatakan lingkar kepala bayi lebih besar dari lubang panggul (belakangan baru diketahui memang ini penyebabnya) dan plasenta sudah pengapuran. Dr. Yun sempat menawarkan untuk menunggu seminggu lagi—karena siapa tahu bisa turun. Tapi, kemungkinannya kecil karena berat bayi pada saat itu sudah 3,4 kg dan kalau menunggu seminggu lagi bisa-bisa bayi makin besar dan makin sulit turun. Jadi, saya dan suami pun menyetujui untuk dilakukan operasi. Karena kami ingin ditangani oleh dokter yang sudah tahu riwayat kehamilan saya, kami pun menanyakan kapan dr. Yun bisa menjadwalkan operasi. Ternyata pilihannya keesokan harinya (tapi, pagi…) atau selasa minggu depannya. Dalam hati, waduh… pengin cepet sih tapi masa besok pagi banget… :’’D

Alhamdulillaah… semua proses dimudahkan. Kamis malam, saya dan suami pulang ke rumah orang tua di Jatinegara untuk mengurus surat rujukan keesokan paginya. Sekitar pukul 10 pagi kami sampai di rumah sakit. Begitu sampai, ternyata kamar untuk saya sudah disiapkan dan saya sudah dijadwalkan tindakan setelah sholat jumat. Meskipun ini pengalaman pertama saya operasi dan melahirkan, anehnya perasaan saya saat itu damai sekali dan pasrah. Setelah jarum infus dan kateter di pasang, saya dibawa ke depan ruang operasi ditemani dengan ibu, suami, dan mama. Setelah menunggu sekitar setengah jam, tibalah waktunya saya diantar ke ruang operasi.

Sebelum proses bius dimulai, saya diberitahu apa yang mungkin akan saya rasakan setelah dibius. Seperti rasa mual dan kebas. Dokter anastesi pun menyuntikkan bius melalui tulang punggung saya, selang oksigen dan “kabel-kabel” lainnya di pasang ke tubuh saya. Tangan saya terbuka lebar. Selama proses operasi saya bisa dengan jelas mendengar percakapan tim dokter, pinggang terasa lepas dari tubuh saya. Selama itu, saya memutuskan untuk memejamkan mata dan berzikir sepanjang operasi. Sekitar 10 menit setelah operasi dimulai dan setelah seorang dokter membantu mendorong bayi dari perut atas saya, suara tangisan melengking itu pun terdengar. Saya nggak bisa menahan tangisan haru, apalagi setelah dokter mengatakan, “Alhamdulillaah… sudah lahir ya bu anaknya sehat, tidak ada kelainan bawaan. Itu dengar… yang nangis itu suara anak ibu.” Langsung ngucur air mata, masih dengan mata terpejam dan dalam hati mengucap syukur… Allahuakbar!


Sebelum bayi dibawa ke ruang bayi, saya sempat ditunjukkan bayinya dan diminta untuk menciumnya. Sementara itu saya merasa teler banget, sehingga mungkin ini yang menyebabkan pihak rumah sakit ini tidak melakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini) pada ibu yang menjalani operasi Caesar.

Selama di rumah sakit, saya selalu sekamar dengan Ken. Perawat mengambil Ken setiap pagi dan sore untuk dimandikan. Saat pertama kali menggendong Ken, saya pun langsung diminta untuk menyusui Ken. Hihih… waktu itu rasanya sedikit nggak percaya karena bayi kecil ini hidup (dan suka heboh) di dalam perut saya, sekarang ada di tangan saya. Bersyukur sekali rasanya, walaupun gagal melahirkan secara normal, tapi saya yakin Allah lebih tahu yang terbaik. Kalau katanya Bidan Jeane, Ken pengin keluar lewat jendela, bukan lewat pintu. Ya, dia memilih sendiri caranya untuk lahir ke dunia.

Sekarang, perjalanan baru dimulai lagi. Perjalanan yang ternyata sudah terasa amat berbeda dari sebelumnya, yang mengubah ritme hidup kami. Bagaimanapun, kami sangat bersyukur karena sudah diberikan kepercayaan ini oleh Allah.

Bismillaah… semoga saya dan suami diberi kesabaran dalam membesarkan dan mendidik Ken menjadi anak yang sholeh dan berbakti pada orang tua. Semoga Allah berkenan kembali mengabulkan doa dan harapan kami ini, Aamiin…



Dear Ken… Let’s make this world smile even bigger by the present of you  :*

- SW-