Saturday, January 4, 2014

Work at Home.

Alhamdulillaah, rasanya lega sekali ya bisa menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. Ya, sepanjang Sabtu ini saya habiskan di rumah untuk mengerjakan revisi report dan sedikit menyiapkan properti serta cerita yang akan digunakan oleh komunitas kami besok pagi. Bukan Sabtu yang sibuk, sebab mengerjakan pekerjaan kantor di rumah ternyata membuat saya merasa lebih rileks dan fleksibel. Kalau sudah bosan dengan pekerjaan, ya saya tinggal meninggalkan laptop sebentar, duduk-duduk di ruang tamu sambil mengobrol dengan bapak-ibu, bermain dengan keponakan, atau menonton TV sebentar. Meskipun santai, tapi pekerjaan bisa tetap selesai... Alhamdulillaah :)

Beberapa waktu lalu, kantor saya direlokasi dari gedung lama ke gedung yang baru. Masih di daerah yang sama, di bilangan Rasuna Said. Oleh karenanya, seluruh karyawan kantor saya terpaksa bekerja di rumah sejak tanggal 23-31 Desember 2013. Awalnya saya sempat bingung karena pada periode itu, ada report yang harus saya bereskan dan untuk itu biasanya saya akan berkoordinasi dengan atasan dan teman-teman dari divisi lain untuk menyelesaikannya. Ah, tentu saja hal ini membuat saya sedikit khawatir karena tanpa tatap muka, koordinasi yang biasa dilakukan pasti tidak akan berjalan dengan semestinya. Lagipula, biasanya suasana rumah tidak terlalu kondusif untuk bekerja (alasan saya aja ini, sih :p). Beruntunglah, karena kecanggihan tim IT kantor, kami pun tetap dapat mengakses server dan outlook. Komunikasi dengan rekan kerja dilakukan dengan memanfaatkan salah satu instant messenger terfavorit pasangan LDR, Skype. 

Kekhawatiran saya tadi pun luntur. Ternyata, saya merasa lebih rileks dan enjoy mengerjakan pekerjaan kantor di rumah dibandingkan di kantor :D. Yah, siapa sih yang nggak betah di rumah sendiri. Meskipun stay di rumah, tapi kan yang dikerjakan tetap pekerjaan kantor--dengan jumlah tugas dan beban yang sama. Jadi, harusnya sama saja dong. Tapi, ternyata tidak... tetap saja ada bedanya dan perbedaan yang saya rasakan ini lebih positif. Karena pengalaman ini, saya jadi berpikir, mungkin nggak ya cara kerja seperti ini bisa terus diterapkan di kantor-kantor, terutama buat para working mom. Lumayan kan, para ibu tetap bisa mengawasi anak-anaknya di rumah meskipun sambil bekerja. Atau paling tidak, para working mom bisa tidak harus masuk setiap hari ke kantor. Kalau tidak ada meeting, atau face-to-face training, misalnya. Ya, tidak perlu datang ke kantor. Tinggal selesaikan saja pekerjaannya di rumah, toh yang penting selesai dengan baik, kan :p #mimpi.

Kalau menurut saya, bukannya tidak mungkin sih ide tersebut direalisasikan. Tapi, tentu saja pasti ada kendalanya, baik itu dari segi teknis maupun etika. Biasanya, kegiatan-kegiatan di kantor itu sudah terorganisasi dan terjadwal, tapi bukan tidak mungkin akan ada saja event atau meeting dadakan dengan atasan atau klien. Contoh kendala lainnya mungkin ketika koneksi yang kita butuhkan untuk mengakses segala keperluan untuk mengambil data di server atau komunikasi sedang tidak beres, tentu akan sangat ribet kalau kita tidak berada di satu tempat yang sama. Yang mungkin paling esensial justru adalah feel yang terbangun ketika berdiskusi secara langsung dan tidak langsung tentu akan berbeda. Dengan berkomunikasi secara langsung, seseorang dapat lebih memastikan apakah lawan bicaranya dapat menangkap hal yang disampaikan secara baik atau tidak, bila dibandingkan komunikasi lewat e-mail, instant messenger, atau telepon. Kendala lainnya mungkin berkaitan dengan kebijakan perusahaan yang tidak mengizinkan karyawannya membawa pulang dokumen perusahaan yang sifatnya confidential, sehingga mau tidak mau kita harus mengerjakan pekerjaan kita di rumah.



Ya, memang akan agak repot sih merealisasikan "mimpi" saya tersebut kalau melihat kendala-kendala apa saja yang mungkin muncul. Makanya, saya belum pernah mendengar ada kantor yang memiliki aturan seperti itu. Meskipun dari pengalaman yang saya alami ketika bekerja di rumah, tidak terlalu ada masalah berarti. Tapi, mungkin juga karena masa bekerja di rumah yang saya alami waktu itu bukan dalam jangka waktu yang panjang, jadi masih bisa ditangani.

Gara-gara tweet salah satu teman saya malam ini, saya jadi menyadari sesuatu. Sebenarnya kita punya hak untuk bekerja di rumah, paling tidak sehari atau dua hari dalam sebulan, yaitu cuti haid/menstruasi. Mungkin banyak yang tidak familiar dengan cuti ini karena tidak terlalu disosialisasikan atau bahkan tidak diterapkan dalam kebijakan seluruh kantor.

Pasal 81 UU No. 13/2013 tentang Ketenagakerjaan (link)

Kalau di kantor saya, cuti haid ini memang sepertinya tidak terlalu disosialisasikan dan tidak bisa disebut cuti juga karena biasanya karyawan yang tidak masuk karena haid hari pertama/kedua, tetap dihimbau untuk bekerja di rumah. Hal ini masih bisa ditoleransi karena jangka waktunya tidak terlalu lama.

Jadi, kesimpulannya kita memang harus memilih. Ada pekerjaan yang memang tidak memungkinkan kita untuk menyelesaikan tugas di rumah sepanjang waktu, tapi ada juga sebenarnya pekerjaan yang memungkinkan kita untuk stay di rumah, namun tetap dapat menghasilkan uang. Contoh simple-nya aja dengan membuka bisnis-bisnis online, atau bekerja sebagai seorang freelancer, atau bahkan membuka usaha sendiri yang memungkinkan kita untuk mengatur segalanya dari meja kerja kita di rumah.

Kalau saya sendiri sih bila sudah berkeluarga nanti, inginnya melakukan seperti pilihan yang kedua. Tetap bisa menghabiskan lebih banyak waktu di rumah (mengurus kebutuhan keluarga), tapi juga ingin memiliki pendapatan dengan melakukan pekerjaan yang disukai. Pilihannya banyak, saya yakin. Tinggal bagaimana kita mengaturnya saja untuk bisa mencapai tujuan itu #asik. Sotoy pisan sih saya... Kayak sudah pernah menjalani saja, ya. Namanya juga kepinginan, memacu diri sendiri boleh, kan :D Meskipun begitu, saya menyadari tetap perlu ada perencanaan yang matang sih untuk mewujudkan keinginan ini.
Data dari BPS menunjukkan jumlah wanita pekerja di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 48,440 juta, meningkat dari tahun sebelumnya 47,24 juta padahal tahun 2009 baru 46,68 juta orang. (the-marketeers.com)
Semakin banyaknya jumlah perempuan yang bekerja saat ini, tentu ada faktor yang memicunya. Untuk ibu yang memutuskan untuk mengambil peran ganda, mungkin salah satu faktornya adalah membantu finansial keluarga. Menurut Bower (2001) dalam Reynolds, et al. (2003), selain faktor ekonomi, partisipasi para ibu di lapangan kerja juga dipengaruhi oleh faktor sosial, politik dan demografi. Ada juga kan yang bekerja demi untuk memenuhi gaya hidup, mengejar karir, adanya keinginan untuk mandiri, atau ada tuntutan dari luar yang membuat para perempuan terutama ibu memilih untuk bekerja juga.

Dari topik bekerja di rumah sampai ke rencana masa depan, hmmm... Nah, meskipun diantara kita mungkin baru beberapa tahun lagi masuk dunia kerja atau berkeluarga, kira-kira apa rencana kamu dalam hal pekerjaan nanti? Semoga tidak menjadi galau masa depan. Tapi, lebih baik galau sekarang kan daripada nanti :p


Have a nice weekend,
Sawitri Wening



Referensi:

Hutajulu, R. (2013). Perempuan Bekerja Meningkat, Sambal Instan Muncul. Marketeers. link

Reynolds, Tracey, Callender, Claire & Edwards, Ros (2003) Caring and Counting: The Impact of Mothers’ Employment on Family Relationships. Bristol: Policy Press.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. http://www.hukor.depkes.go.id/.

Thursday, January 2, 2014

Tumbuh.

Buat saya, tidak ada yang berbeda di pergantian tahun kali ini. Saya bahkan tidur lebih cepat di malam tahun baru kemarin, di saat orang-orang berpesta pora di Bundaran HI, menghabiskan malam dengan kembang api, atau sekadar duduk berbasa-basi. Mungkin, karena cuaca malam itu begitu mendukung untuk tidur lebih cepat, meski suara musik dangdut di daerah dekat rumah begitu memekakkan telinga.

Tidak ada yang berbeda. Meskipun begitu, tentu saja tetap ada harapan dan keinginan yang ingin dicapai di tahun ini, seperti biasanya. Ada keinginan yang telah muncul jauh sebelum pergantian tahun datang. 

Semoga Allah SWT mengizinkan harapan itu tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik, untuk diri kita masing-masing dan untuk kita O:)


Salam hangat dariku,
Sawitri Wening

Wednesday, January 1, 2014

Uncertainty

This is weird, how a simple thing could make you come up with an (complicated) insight.

If you go to a railway station in this city lately, you might be sick finding the long queue of the single trip ticket intenders. I don't know what the reason behind PT. KAI to only open limited counters for single trip tickets and let their officer shout out to persuade us buying the multi-trip ticket rather than giving up our precious time to that deathly long single-trip-ticket-line . They obviously said something like this, "Please buy the multi-trip ticket! You won't be stuck in that long queue anymore. Crossing the gateway will be much simpler with this tool." 

It simply made me think that that might be their strategy to succeed the multi-trip ticket program. What?Such a cheap way, isn't it?--It's just my bad thought by the way :p 

However, i think the offer is still reasonable. For the regular commuter-line users, this tool must be very useful. But for the occasional users like me, they will think twice to cost more money before buying this ticket, as we need to invest IDR 20K to have it. For some people, this amount might be too high, literally or just because they think they wouldn't use it anymore in the future. That's why a lot of people still willing to take a spot in that long line, wasting their time for minutes or even hours just to get those single-trip tickets. Since i rarely use CL after stepping out from college, i was in that line too. 

Until i was in rush to reach a place by CL, i decided to buy the multi-trip ticket and since there is no expiry date on it, i realized that this ticket will be useful for me as well. As an occasional user, i would take two or three trips to Depok, Bogor, or Kota by CL and i don't need to waste my time in that queue anymore. I think spending that amount of price is value for time. Just swipe in and go! What a happy commuter I was! :)

Don't you think you want to feel this kind of happiness also and help to reduce that chaos in the station? Well, that is your choice anyway... No one pays me for this statement :p


So, what is the relation between this issue and the first line of this post? 

This is absurd, but i just want to write it down. The day I bought the ticket, i lost it recklessly. I was very sad at that time because of I think could use that ticket to go home and save more money. I confidently walked alone from GI to Sudirman Station, expecting the experience crossing the gateway straightly without have to take the money out of my pocket. Yes, i considered to walk on the distance alone just to make myself allowed to use the ticket. I didn't know before that losing a train-ticket could really make me feel that sad.

But then i was thinking what makes me feel sad is not merely about losing the ticket, it's because the insight i got from that experience. It's about realizing how close we are with the uncertainty, even when we have been pretty sure that something would come. This also reminds me that when God had decided something after all the sweats, we just need to accept. I believe, even though someday we can't get what we want, we still can count all the effort and time we used to pursue a thing. 

Just keep trying and praying because of  uncertainty will never be separated from life, right?

A lesson learned, just be prepared for another surprise from God. Have faith :) 

Cheers,
Sawitri Wening