Thursday, November 30, 2017

Melatih Kemandirian : Merapikan Mainan

Hal yang tidak bisa dihindari ketika punya toddler, salah satunya, adalah menemukan kamar/rumah berantakan karena mainan bertebaran dimana-mana. Nah, momen ini sebenarnya bisa jadi tools buat orang tua untuk mengajarkan anak tentang banyak hal, misalnya: kerapihan, tanggung jawab, disiplin, dan kemandirian. 

Kali ini, saya mau mengenalkan dan membiasakan Ken untuk membantu merapikan mainan, sebelum tidur. Sebenarnya, hal ini sudah pernah saya kenalkan ke Ken. Namun, belum konsisten karena berbagai alasan. Ya orang tuanya yang nggak sabar, penginnya cepat rapi. Ya anaknya yang menolak karena masih mau main, atau simply karena nggak mau aja. Yang pasti, untuk melatih kemandirian ini, saya tidak memasang target apapun. Sebab ingin proses yang dijalankan menyenangkan sehingga Ken tidak merasa dipaksa. Jadi, mari jalani tugas ini dengan riang gembira! Insya Allah, Saya akan update progressnya setiap hari di postingan ini.

DAY 1 - Persiapan & Pengenalan

Hal-hal apa saja yang saya perhatikan dalam melatih kemandirian. Kita mulai pelan-pelan ya buibuk. Ini sekaligus jadi catatan hari pertama saya.

1. Me-manage ekspektasi
Menurut saya, hal pertama yang paling penting sebelum melatih kemandirian anak adalah dengan mengetahui tahap perkembangan di usianya. Sehingga kita bisa membangun ekspektasi yang tepat mengenai kemampuan anak, sesuai dengan usianya. Jadi, untuk Ken yang masih berusia  2 tahun ini, paling tidak Ken mau diminta membantu membereskan dan mengikuti arahan saja sudah baik. Kalau katanya Ibu Najeela Shihab, ini penting untuk menghindari over/under expectation, supaya orang tua nggak stress sendiri karena anak belum mampu melakukan apa yg kita inginkan atau malah terlalu banyak membantu karena khawatir anak tidak bisa mengerjakaannya. 

Day 1 - Memang belum rapi, tapi ini Ken yang membereskan lho!

2. Briefing/Sounding 
Sebelum meminta Ken membantu ibu merapikan mainannya, saya tidak langsung ujug2 memintanya untuk membereskan mainan saat itu juga. Tapi, bilang rencana apa yang akan kita lakukan. Misal, "Ken nanti kalau jamnya sudah di angka 1 artinya waktunya bobo ya." Setelah ia menerima, baru saya bilang lagi, "Tapi sebelum bobo, bantu itu beres-beres mainannya ya." Sebisa mungkin hal ini di ulang ketika ada kesempatan yang pas.  

3. Menjelaskan Alasannya
Karena Ken tipe yang mesti dijelaskan betul, kenapa dia harus melakukan A dan kenapa tidak melakukan B. Jadi, saya pelan-pelan mengenalkan tentang kondisi rapi vs berantakan. Yang saya lakukan adalah menanyakan ke Ken, "Ken lihat deh kamarnya Ken. Rapi atau berantakan?" dia akan jawab berantakan (sebelumnya sudab dikenalkan dengan konsep rapi). "Kalau berantakan begini bagus nggak ya dilihatnya?" Dia diam sebentar lalu berkata "nggak bagus" Untung lah jawabannya pas, hahaha. Kalau nggak, ya diluruskan dong. "Iya nggak bagus. Nanti bantu ibu beresin ya biar rapi dan bagus". 

4.   Eksekusi

Dalam poin ini, saya akan mengupdate perhari-nya progress melatih kemandirian merapikan mainan di bawah ini:

Day 1 - Memberikan Pilihan
Saya sengaja memilih waktu membereskan mainan itu sebelum tidur. Kali ini sebelum tidur siang. Alasannya, ya biar nggak lebih efisien aja, soalnya kalo beresin sebelum doi tidur, nggak lama pasti berantakan lagi.

Di hari pertama ini, yang saya perhatikan adalah:

  - Menggunakan kata "tolong" dan mengajak Ken membereskan mainan bersama-sama, instead of hanya memerintah. Fungsinya supaya Ken merasa dihargai dan tentu saja supaya membuat tugas ini menyenangkan 😊

  -   Sebelum tidur, dia biasanya mau membawa satu/dua mainan sebagai teman tidurnya. "Oke, Ken ambil yang mau dibawa. Lalu, taro di sana. Sisanya, kita bereskan sama-sama ya". Sebenarnya ini pernah coba dilarang, tapi yang ada gak selesai-selesai beres2nya dan ngapain juga dilarang-larang ya. Nambahin drama kehidupan aja 😅
  
  - Ken suka main sama sepupunya. Nah, sering kali mereka saling pinjam mainan atau bawa mainan ke tempat mereka main, entah ke kamar abangnya atau ke kamar Ken. Kebetulan, tas mobil hot wheels abangnya lagi ada di kamar Ken. Kesempatan nih, ngajarin Ken beberes sambil sorting mobil-mobilan dia dan abang. "Ken masukin mobilnya abang di yang hijau, punya Ken yang oranye ya"   

Merapikan mobil-mobilan ke dalam kotaknya
Yeay! Hamdalah hari pertama anaknya mau dengan senang hati membantu ibunya membereskan mainan. Semoga seterusnya begitu ya, Ken ❤

#HariPertama #Tantangan10hari #Level2 #KuliahBunsayIIP #MelatihKemandirian


Day 2 - Pelajaran Baru
Merapikan pompom

Memasukkan bricks ke dalam kotaknya, sambil pura-pura main mobil
Terkadang kita, sebagai orang tua, suka menginterupsi kesenangannya bermain hanya karena terlalu malas beresinnya. Heheh, itu saya aja apa ada yang punya pengalaman serupa? Nah, salah satu mainan yang suka bikin gemes pengin cepat2 dirapikan adalah pompom. Apalagi kalau dimainkannya dihambur-hamburkan semacam confetti gitu, bikin emosi negatif menggelora. Karena apa? karena nggak tahan lihat berantakannya, bawaannya pengin cepet-cepet beresin aja.
Nah, hari ini saya belajar buat menahan diri untuk tidak menginterupsi kesenangannya Ken saat bermain pompom. Alasannya, biar Ken bisa ikut membereskan pompom yang berserakan tadi. Kalau saya yang membereskan, latihan kemandirian dan tanggung jawabnya gagal dong. 


Alhamdulillaah anaknya mau ikut mungutin pompomnya satu-satu dan memasukkannya ke dalam mangkok dan nggak pakai cemberut karena mainnya udah puas. Yang menarik lagi, waktu dia membereskan duplonya ke dalam kotak, Ken melakukannya sambil bermain. Jadi, kepingan duplonya dengan sendirinya dia imajinasikan sebagai mobil warna-warni yang akan masuk ke dalam markas. Yay! Beresin mainan bisa jd lebih menyenangkan ya Ken. Eh, ternyata merapikan mainan sebelum tidur ini ada efek positifnya juga lho buat Ken, yang aku perhatikan ya. Tapi ceritanya besok aja, sekalian membuktikan apakah yang aku pikirkan ini valid atau nggak 😉

#HariKedua #Tantangan10hari #Level2 #KuliahBunsayIIP #MelatihKemandirian

Day 3 - Rutinitas Baru
Kalau lihat pembahasan sebelumnya, di artikel komunikasi produktif, saya sering banget nyebut-nyebut kalau salah satu problem yang saya rasakan di usia Ken saat ini adalah seringnya penolakan yang saya terima ketika  memintanya untuk tidur siang. Nah, hubungannya apa sama latihan kemandirian merapikan mainan yang sedang aku terapkan ke Ken saat ini? Setelah aku perhatikan, kebiasaan merapikan mainan sebelum Ken tidur ini semacam jadi rutinitas baru buat dia. Kalau baca buku Filosofi Montessori dari Mbak Vidya, saya jadi tahu kalau anak-anak itu mencintai rutinitas dan katanya akan berpengaruh pada perkembangan kepercayaan dirinya. Nah, semenjak Ken saya ajak merapikan mainannya bersama saya sebelum tidur, Ken jadi gampang banget di ajak tidurnya dan nggak harus dipaksa-paksa. Kebiasaan baru ini jadi semacam tanda kalau dia sebentar lagi akan tidur. Yeay! Ibu happy! :)

Hari ini, Ken alhamdulillaah masih mau kalau diajak merapikan mainan. Tetapi, tetap ada sesi tawar-menawarnya. Ken mau membawa mainannya saat tidur. Buat saya ini kesempatan untuk mengajarkan menentukan pilihan dengan keterbatasan yang ada. Kesempatan buat Ken buat belajar hal baru. Jadi, Ken boleh bawa satu atau dua mainan saat tidur (dia boleh pilih), tetapi khusus untuk mainan yang ukurannya tidak terlalu besar.

#HariKetiga #Tantangan10hari #Level2 #KuliahBunsayIIP #MelatihKemandirian

Day 4 - Game level up


Melatih beberes mainan hari ini lebih menantang dari biasanya. Jadi, hari ini lagi ada kumpul-kumpul keluarga di rumah karena salah satu sepupunya Ken ada yang ulang tahun. Jadilah rumah datuk jadi lebih heboh 5x lipat dari biasanya. Anak-anak mainnya juga pindah-pindah, kadang di ruang tamu, kadang di kamarnya Reyhan, kadang di kamarnya Ken. Jadi singkat cerita,  sebelum tidur kondisi kamarnya Ken seperti layaknya kapal pecah. Mainan bertebaran dimana-mana. Nggak apa banget siiih namanya juga anak-anak main. Saya pikir, waw tantangan buat saya dan Ken buat beresin mainan nambah nih. Sekalian juga mau lihat reaksinya Ken ketika diajak beberes kali ini.


Coba tebak yang senewen siapa? Bukan Ken, tapi emaknya! 😅. Ken sih mau-mau aja diajak beberes, cuma reaksi saya lihat mainan yang berantakan, bikin saya pengin segera selesai dan rapi. Karena ini juga sepertinya saya banyak mengeluarkan kalimat-kalimat tidak produktif alias ngomel-ngomel ke Ken yang beresin mainan sekaligus main dan banyak negonya, alias lama. Jadi, target menciptakan proses beberes yang menyenangkan hampir gagal.

Alhamdulillaah, untung saya segera sadar dan meng-encourage Ken untuk beberes lagi dengan cara yang lebih positif (stop ngomel). Yaitu dengan mengubah intonasi suara dan ekspresi wajah. Ken juga terlihat senang ketika sudah berhasil meletakkan mainan ke tempatnya. Sebelum naik ke tempat tidur untuk baca buku dan tidur, saya memeluk Ken dan mengucapkan terima kasih karena telah membantu ibu merapikan mainan.


Terima kasih ya, Ken 😘

#HariKeempat #Tantangan10hari #Level2 #KuliahBunsayIIP #MelatihKemandirian

Friday, November 17, 2017

Komunikasi Produktif: Mobile Legend


Catatan kali ini agak berbeda dengan catatan sebelumnya. Kalau yang sudah-sudah saya menceritakan tentang komunikasi yang saya lakukan dengan Ken, sekarang saya mau cerita yang berkaitan dengan suami. 

Coba siapa di sini yang tersenyum waktu lihat judul postingan ini, hahahah. Tos dulu bu, mungkin kita senasib punya suami yang suka main game. Eh, tapi apakah kebanyakan laki-laki memang suka main game ya. Jadi, singkat cerita, suami saya lagi keranjingan main game online Mobile Leged. Saya saking nggak pahamnya kenapa suami suka banget main ini, jadi ikutan coba main juga. Eh, tapi yang ini cerita lengkapnya di postingan terpisah aja. Sekarang fokus cerita tentang komunikasi produktif.

Entah udah berapa kali suami saya meminta saya untuk pijit dengan Mbok Jamu langganan mama mertua. Alasannya, emmm… Nggak ada alasan khusus sih, kayaknya supaya saya bisa ada waktu buat relaksasi aja. Soalnya, setahun nggak pernah ke salon buat pijet kan karena di Bristol mah ngapain banget ke salon, buang-buang duit.  Jadi, begitu mendarat di Bekasi, suami rajin banget minta saya arrange waktu pijet sama Mbok jamu setiap kali di rumah ada yang pijat. Akhirnya kemarin kesampean juga pijat. Ekspektasi di awal, saya pijat dengan tenang sambil dengerin mbok jamu cerita, terus ketiduran pas dipijet. Kenyataannya, Ken masuk kamar dan ngegercokin ibunya lagi pijet, berantakin mainan, dan naik-naik ke punggung ibunya. Hahahaha, bubyaaaar sesi me-time santai-santai ibu.

Terus, ayahnya kemana? Katanya mau jagain selama ibunya Ken pijat. Iyaaah, main Mobile Legend :’( Tahu kan buibu, kalo main mobile legend itu nggak bisa diapause, alias mesti fokus biar nggak kena AFK. Terus, menurut penelitian dibilang laki-laki itu kalau sedang melakukan sesuatu selama 10 menit, dia bakalan fokus ke sesuatu itu dan nggak bakal dengar atau peduli sekitarnya, termasuk saya yang minta tolong supaya Ken diamankan dulu. Bukan karena gerecokin saya, tapi karena dia mainan mangkok kaca. Kan ribet ya lagi dipijet tengkurep gitu, mesti ngejar-ngejar bocah yang nggak mau udahan main mangkok dan PRANK! pecah kan…..

Sesudahnya, saya pun menyampaikan uneg-uneg saya ke suami soal kejadian tadi siang.

Ibu: Ayah, aku nggak apa ayah main game. Tapi, boleh tolong lihat sikon nggak kapan waktu yang tepat untuk main game.
Ayah: Iya, maaf ya bu tadi.
Ibu: Kalau Ken lagi tidur begini, silakan ayah main game.
Ayah: Nggak… aku nggak main game
Ibu: Ya nggak apa  sekarang nggak main game, tapi nanti pas anaknya bangun ayah jangan main game dulu. Nanti kalau ibu mau minta tolong, susah.

Hehehe, sebenarnya saya nggak tahu sih ini sudah termasuk komunikasi produktif atau bukan. Tapi, yang saya lakukan adalah mencoba menyampaikan apa yang saya rasakan dan memberikan solusi kepada ayahnya Ken karena saya tahu kesenangannya bermain game dan tahu serunya. Jadi, saya berusaha untuk tidak melarangnya karena mungkin dengan main game dia bisa melepaskan stress dan katanya bisa bersosialisasi dengan teman-teman lamanya. It’s a win-win solution, isn’t it? Yea, hope so.

Cheers!
Sawitri Wening


#harike10
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Tuesday, November 14, 2017

Komunikasi Produktif: Pergi ke Pemakaman

Makan bersama setelah ke Pemakaman

Beberapa hari yang lalu, keluarga besar suami saya mendapatkan kabar duka. Salah satu adik dari papa meninggal dunia. Kami sekeluarga berencana melayat ke rumah duka keesokan paginya dan ini merupakan pengalaman pertama Ken pergi ke pemakaman. Maka, sebelum tidur, saya mencoba menceritakan dengan bahasa sederhana tentang berita yang baru saja kami terima kepada Ken dan melakukan sounding tentang rencana kami keesokan harinya.

Ibu: "Ken tidur ya. Besok kita mau ke rumahnya Datuk Wawan"
Ken: "Ke rumah datuk wawan ya"
Ibu: "Iya, datuk wawan baru aja meninggal dunia. Semua orang di sana nanti sedih"
Ken: *mendengarkan dengan seksama*
Ibu: "Jadi, besok Ken yang manis ya. Yang tenang karena orang-orang lagi sedih."
Ken:"Kalo di mesjid, sholat, harus tenang"
Ibu: "Iya betul kayak kalau diajak ke mesjid sama ayah, harus tenang."

Keesokan harinya, sebelum berangkat, saya kembali men-sounding Ken untuk bersikap manis selama perjalanan (karena lumayan jauh) dan saat sampai di rumah duka. Masya Allah, benar saja selama perjalanan Ken maniiiiis sekali dan kelihatan menikmati sekali. Hampir sepanjang perjalanan, ia banyak bernyanyi dan memperhatikan mobil-mobil. Saat sampai di rumah duka, Ken terlihat agak takut karena banyak orang yang belum dikenalinya. 

Selama berada di sana, saya berusaha untuk menjelaskan kepada Ken tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya saat ini. Tentang memandikan jenazah, tentang orang-orang yang berduka, tentang pemakaman, tentang kemana kita kembali ketika sudah meninggal nanti yang bikin saya berurai air mata. Huhu, momen seperti ini selalu mengingatkan saya pribadi kalau kita tidak selamanya berada di dunia ini dan saya sedikit-sedikit mulai memberitahukan Ken soal hal itu di momen ini.

Ibu: "Ken, Datuk Wawan sebentar lagi mau dimakamkan, dikubur di dalam tanah. Kita doakan ya semoga amal Datuk Wawan diterima Allah."

Hari itu Ken mendapatkan satu pengetahuan baru. Meskipun Ken baru berusia dua tahun, bagi saya memberikannya pengetahuan soal batas usia ini bukanlah hal yang sia-sia, sebab seperti yang kita tahu, anak itu mengobservasi dan begitu cepat menyerap informasi yang diterima inderanya.

Ken mulai rewel saat perjalanan pulang ke rumah, rupanya ia mengantuk. Alhamdulillaah, ia masih sempat tidur siang sebelum sampai rumah.

Salam,
Sawitri Wening



#harike9
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Thursday, November 9, 2017

Komunikasi Produktif: Membantu

Ken dan sapunya

Ibu-ibu di sini pernah nggak sih merasa digerecokin sama anak ketika sedang mengerjakan sesuatu? Misal, kalau lagi nyapu atau masak. Saya pernah baca dimana gitu lupa, hahaha, katanya toddler itu punya sense of helping yg besar. Ini berkaitan dengan rasa ingin tahunya yang besar itu dan saya percaya ini adalah salah satu fitrah baik dari Allah yang harus kita pupuk dan kita jaga agar tidak terkikis dengan rasa ketidakpedulian dan berujung pada buta rasa ketika melihat ada orang yang kesusahan. Jadi, kalau lihat ada orang yang masa bodo lihat nenek-nenek mau menyeberang jalan, misalnya, kita boleh bertanya-tanya dengan cara apa dia dibesarkan dan mengapa bisa menjadi seperti itu. Sudah pasti orang tua / caregiver-lah yang berperan. Makanya, tanggung jawab sebagai orang tua itu nggak main-main ya. 

Jadi, dengan mengingat-ingat hal tersebut, saya selalu berusaha untuk mengubah persepsi saya yang tadinya "hadeeeuh, ngegerocikan aja nih anak." menjadi "oooh, dia mau tahu caranya menyapu." Makanya, waktu di Bristol, saya sengaja beli satu set sapu khusus buat Ken yang sedang ingin 'membantu' ibunya menyapu atau lebih tepatnya ingin meniru ibunya menyapu. Atau ketika saya sedang memasak, dan dia ingin tahu apa yang saya kerjakan, biasanya saya dudukkan dia di highchair dan memberi tahu kegiatan apa yang saya lakukan dan berujung pada Ken yang ikut membantu mengupas bawang. Yah, itung-itung melatih sensori lah. 

Seperti kemarin, saat saat sedang menyapu, Ken ingin mengambil sapu yang saya pegang.

Ibu: Ken, ibu lagi apa ini?
Ken: Nyapu
Ken: Ken mau nyapu.. Ken mau nyapu..
Ibu: Iya sebentar ya Ken. Ibu ambil sapu satu lagi *untung mbauti punya dua sapu.
Ibu: Ini ya ken. Yok kita sapu sama-sama yok!
Ken: *ngintilin ibunya sambil pura-pura menyapu*

Yaaa iya sih jadi lama beresnya. Tapi, Ken jadi nggak cranky karena rasa ingin tahunya sudah terpenuhi. Rasanya itu lebih bikin tenang dibandingkan harus menghadapi Ken yang sedang cranky. Jadi, ibu senang, anak senang.

Atau pada waktu lainnya, saat Ibu mau menyapu lantai kamar yang ditutupi evamat, Ken menolak untuk keluar kamar. Lalu ayah mengajak Ken untuk ikut melepas evamat-nya dan menumpuknya. Ya tapi, sambil disemangatin kayak lagi lomba gitu. Jadi, hitung-hitung Ken bisa menyalurkan kesenangannya 'membongkar' barang dan kerjaan ayah dan ibu juga beres. Alhamdulillaah...

Selamat memupuk rasa tanggung jawab dan empati anak. Mumpung rasa ingin tahunya lagi besar-besarnya, marilah kita cekoki dengan hal-hal baik seperti kesenangan membantu orang dan bersih-bersih. Sebab tidak ada istilah "masih terlalu kecil" untuk memperkenalkan hal-hal baik ke anak. 

Selamat pagi!
Sawitri Wening

Baca artikel lain tentang Komunikasi Produktif di sini

#harike7
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Monday, November 6, 2017

Komunikasi Produktif: Saat Anak Tantrum

Salah satu hal yang harus kami hadapi di usia Ken yang kedua ini adalah drama tantrum. Kalau menurut Siegel & Bryson (2011), ada dua hal yang menyebabkan seorang anak tantrum dan kedua hal tersebut membutuhkan penanganan yang sangat berbeda. Tipe tantrum pertama adalah anak menjadi rewel, menangis tak terkontrol karena menginginkan sesuatu yang 'dilarang'. Kalau hal ini terjadi, yang harus dilakukan adalah tetap tenang dan sebisa mungkin tidak menenangkan anak dengan menuruti keinginan anak karena ia akan belajar di kemudian hari kalau ia ingin meminta sesuatu, ia akan menjadi rewel. Yang terpenting beri tahu cara yang benar apa yang sebaiknya dikatakan/dilakukan anak ketika ia meminta sesuatu. Tantrum tipe kedua adalah akibat dari kecemasan dan ketegangan yang dirasakan anak, namun belum bisa diekspresikannya secara proper. Apabila tantrum model ini terjadi, orang tua harus memberikan kenyamanan pada anak, menggendong dan memeluk serta menanyakan apa yang dirasakannya dan memastikan kalau anak merasa aman dan nyaman. 

Lalu, bagaimana caranya berkomunikasi dengan anak yang sedang tantrum? Jujur, saya sebelumnya sempat bingung harus apa karena ketika Ken sedang tantrum, ia biasanya akan menangis sampai satu jam dan sulit sekali ditenangkan. Terkadang, malah terbawa emosi karena frustrasi dengan Ken yang sedang tantrum. Maklum bu, baru pertama kali melihat dan menghadapi langsung anak tantrum, ternyata rasanya campur aduk ya 😓. 

Day 5 - Saat Anak Tantrum

Saat minggu-minggu pertama di Indonesia, Ken sering sekali tantrum saat sedang tidur. Penyebabnya, awalnya saya pikir karena kelelahan dan tidak nyaman karena pilek. Tapi, setelah saya analisis lebih jauh, sepertinya penyebabnya lebih dari itu.

Siap-siap pulang ke Indonesia
Cerita sedikit ya, heheh... Hari-hari terakhir kami di Bristol dan hari-hari pertama di Indonesia adalah masa yang berat untuk Ken. Dia harus beradaptasi dengan banyak hal di waktu yang berdekatan; disapih (which is i believe the most massive change in his entire life), pindah dari rumah tempat ia selama setahun tumbuh, berturut-turut harus pindah dari apartemen-hotel-rumah orang sebelum akhirnya berangkat ke London untuk naik pesawat, perjalanan 15 jam di pesawat, adaptasi dengan lingkungan baru (yang di satu sisi bikin dia excited, tp di sisi lain dia harus banyak menerima larangan), perubahan iklim negara, dan... OMG makin saya list ternyata makin banyak ya perubahan yang mesti dialami Ken dalam satu waktu. No wonder kenapa waktu itu Ken sering tantrum saat sedang tidur dan sering rewel. Sayangnya, semua itu baru saya sadari belakangan dan bukan diantisipasi sejak awal 😟. Well, tapi sekarang Masya Allah anaknya sudah beradaptasi kembali dengan baik.

Saat itu, reaksi saya ketika Ken tantrum di malam hari mungkin malah makin memperparah tantrumnya karena bingung sendiri, ini anak kenapa nangis, ibu salah apa ya.


Jadi, sekarang saya sudah lebih bisa belajar menghadapi tantrum tipe kedua ini. Seperti yang kami alami hari ini. 

Ken tertidur siang ini setelah drama tidak mau tidur siang kembali meletus. Sekitar sejam berlalu, ia terbangun lalu menangis. Oke, pertama yang harus saya lakukan adalah tenang lalu mulai berpikir apa penyebab Ken menangis. Saya pun menanyakan ada apa dengan lembut sambil mengelus-elus punggungnya. Di luar mbah kakung sedang mengajar dalang, wajar saja ia terbangun mungkin karena keberisikan dengar suara keprak. Komunikasi yang saya bangun saat Ken menangis seperti itu sudah pasti hanyalah monolog karena ia tidak akan menjawabnya. Yang saya lakukan sembari menenangkannya adalah mencoba menerjemahkan apa yang dirasakannya saat itu dgn berempati dan menggunakan kalimat pendek.
"Ken masih ngantuk ya?"
"Berisik ya di luar, Ken jadi kebangun."
"Sini tidur lagi sama ibu ya."

Tak lama, ia tertidur lagi.

Ternyata benar ya, saat anak sedang tantrum, kunci utamanya itu adalah jangan panik dan tetap tenang (Ehem, semoga kita dalam keadaan waras dan bisa ingat ini terus ya), mencoba berempati, mencari tahu penyebabnya, dan bicara seperlunya saja--jangan menghujani anak dengan pertanyaan (soalnya makin ngamuk pasti karena pusing kali ya denger ibunya ngomong terus) dan perlahan menenangkannya. Mudah-mudahan kita semua selalu dimudahkan dan diberi kesabaran yang luas dalam membesarkan anak.

Maapkeun ya kebanyakan curhatnya daripada inti catatannya :D

Selamat pagi! 
Sawitri Wening



Baca artikel lain tentang Komunikasi Produktif di sini

#hari5
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Sunday, November 5, 2017

Komunikasi Produktif: Melarang & Mengakui Kesalahan

This little guy is a bit obsessed with balloons!

Sepertinya hal yang paling sering kami lakukan, sebagai orang tua, akhir-akhir ini adalah mengeluarkan kalimat larangan kepada Ken. Seperti yang kita semua pahami, anak seusia Ken umumnya memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar. Setiap orang tua mungkin ceritanya bisa berbeda-beda ya. Kalau Ken, semenjak mulai bisa berbicara, ada masa dimana hal yang paling sering dikatakannya adalah "Ken mau pegang A... Ken mau pegang B..." Kayaknya mau tahuuuu banget benda itu apa sih itu. Mungkin kalauu bisa kita terjemahkan isi otaknya, yang terdengar adalah hal-hal ini bentuknya bagaimana, teksturnya seperti apa, keras atau lembek, bisa dibunyikan atau nggak, dan sebagainya. Saya yakin semua itu adalah fitrah dari Allah, dimana di usia ini, anak sedang ada pada tahap belajar yang luar biasa. Segala tingkah laku mereka sebenarnya adalah bentuk dari rasa ingin tahunya, yang sayangnya sering kali kita anggap sebagai suatu kenakalan atau bahkan kebodohan :( Kebayang kan kalo nggak sadar akan hal-hal tadi, bagaimana kita akan mencap seorang anak dengan sebutan negatif. Ah, sadar saja masih suka terbawa emosi seperti yang terkadang saya lakukan :''(

Kalau baca bukunya Mbak Vidya Dwina Paramita tentang hal apa yang harus diperhatikan ketika memutuskan untuk melarang anak, ada dua aspek yang harus dilihat sebelum melarang/menegur anak, yaitu 1) Aspek keamanan dan 2) Aspek Kesopanan. Jadi, kalau rasa ingin tahu anak sudah mengganggu salah satu atau kedua aspek tersebut, saya sepakat untuk wajib melarang anak melakukannya. Diluar itu, masih bisa ditoleransi bahkan harus didukung. Heheh, ini sekalian ngingetin diri sendiri biar nggak malas nanggepin rasa ingin tahu anak. 

Karena intronya kurang lebih berkaitan dengan hal yang saya ceritakan selanjutnya. Jadi, saya akan gabung catatan hari ketiga dan keempat di sini ya. 


Day 3 - Melarang 
Jadi ceritanya, Kami pergi ke Perpusnas yang lagi hits itu kemarin karena pas banget lagi ada acara festival dongeng. Rame-rame sama mbauti dan sepupu-sepupunya Ken. Seperti biasa deh, Ken kalau ada di tempat baru pasti bawaannya ingin menjelajahi tempat itu sampai ke sudut-sudutnya. Entah sudah berapa kalimat larangan yang saya katakan, ya karena emang harus dikasih tahu anaknya kalau melakukan itu nggak boleh. Misal, tidur-tiduran di lantai, nyelip-nyelip di antara bangku-bangku, lari-lari karena takut terjatuh. Yang paling tidak bisa ditoleransi adalah ketika Ken bermain di dekat stop kontak.

Sebenarnya sih dia hanya ingin melihat balon-balon, tapi ternyata ada stop kontak di bawah tumpukan balon-balon itu. Ketika Ken tidak bisa diberitahu sekali, saya langsung berubah lebih tegas, "Ken, itu kabel berbahaya. Jangan main dekat situ!" Lalu, saya membawanya menjauhi tempat itu. Setelah itu, baru saya beri tahu pelan-pelan mengapa ia tidak boleh main di dekat situ dan mulai mengalihkannya dengan hal lain.

Ibu: "Ken, tahu nggak itu apa?"
Ken: "Kabel"
Ibu: "Ibu bilang boleh nggak main dekat kabel"
Ken: "Nggak boleh"
Ibu: "Iya, nggak boleh karena berbahaya. Ken bisa kesetrum, sakit. Nanti Ken nangis."
Ken: *masih tergoda mengambil balon di tempat tadi*
Ibu: "Kita lihat balon yang di sana aja yuk" *Ken menurut*

Setelah saya pikir-pikir, berhadapan dengan toddler itu adalah seni mengalihkan perhatian. Rasa ingin tahunya sepertinya mesti selalu ditantang dengan sesuatu. Jadi, kalau melarang melakukan sesuatu, kayaknya mesti cari alternatif hal lain untuk dikepoin sama otaknya. Betul nggak, buibu?


Day 4 - Mengakui Kesalahan

Children love to interact with their parents
Catatan kali ini adalah sebuah pengakuan dosa *siap dihujat*. Berapa banyak sih dari kita yang main sama anak sambil lihat-lihat hape? Pasti pernah kan merasakan lagi bosan atau lelah dan ingin mengintip notifikasi  atau sekadar lihat-lihat aja, waktu main sama anak. Intinya itu yang kejadian sama saya hari ini. Kebetulan Ken ini anaknya suka bete kalau dicuekin dan inginnya apa yang ia katakan selalu ditanggapi. Tapi, siapa pun kalau dicuekin pasti bete ya. 

Kami baru saja pulang dari menengok sahabat saya yang baru lahiran. Di rumah sahabat saya itu, ada seekor kucing namanya Boni. Ken sukaaaa banget sama kucing, jadi sambil leyeh-leyeh dan main mobil-mobilan, Ken tiba-tiba bilang.
Ken: "Tadi ken liat kucing"
Ibu: "Oh iya, inget nggak kucingnya namanya siapa?"
Ken: "Doni"
Ibu: " Bukan. Boni."
Ken: "Iya, Boni."
Ibu: "Ken ingat nggak kucingnya warna apa?" *mulai pegang hape*
Ken: "Warna white!"
Ibu: "Coba inget lagi. Emang warnanya white?" *mulai lihat-lihat hape*
Ken: "Warna black"
Ibu: "Hmm? emang warna black?" *mulai nggak fokus*
Ken: ~~~ *ngomong sesuatu tapi saya nggak dengar*
Ibu: "Eh, iya kenapa, Ken?" *Lihat Ken matanya sudah berkaca-kaca*
Ibu: "Ken, kok nangis? Ken sedih ya, tadi lagi ngomong ibu nggak dengar?"
Ken: *mengangguk*
Ibu: Ken tadi ngomong apa memangnya? Maaf ya ibu nggak dengar."
Ken: "Ken ngomong warna orange" *sambil mulutnya mulai maju*
Ibu: "Oooh iya betul kucingnya warna orange. Maaf ya Ken ibu tadi nggak dengar. Sini ibu peluk"
Ken: *menaruh hape ibunya di lantai, duh jleb banget rasanya* 
Ibu: "Sori ya Ken... maaf. Ken nggak suka ya ibu lihat hape waktu Ken ngomong?"
Ken: *mengangguk*
Ibu: "Ibu nggak boleh lihat hape?"
Ken: "iya..."
Ibu: "Maaf, Keeen...Ken maafin ibu nggak?" *sambil memeluk*
Ken: Iya *sambil mengangguk*

Rupanya dia sepertinya sudah berekspektasi apa yang akan saya katakan kalau ia menjawab warna kucingnya dengan benar dan realitanya ibunya malah sibuk lihat hape :"""(. Seenggaknya ada banyak hal yang bisa saya dan Ken pelajari dari kejadian singkat tadi. Ken belajar bagaimana ibunya mengakui kesalahan dan ibu tentu saja belajar untuk berusaha lebih keras untuk tidak menduakan Ken saat sedang bermain atau mengobrol dengannya. 

Saat itu, saya juga berusaha untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya, menggunakan kalimat-kalimat pendek , dan mengulang perkataan maaf agar Ken lebih mudah mengerti dan memahami pesan dan fungsi dari kata "maaf" itu sendiri.


Semoga bermanfaat!
Sawitri Wening



Baca artikel lain tentang Komunikasi Produktif di sini

#hari3
#hari4
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Friday, November 3, 2017

Komunikasi Produktif: Membuat Kesepakatan

Ketika bisa tidur siang adalah sebuah pencapaian

Day 2 - Membuat kesepakatan

Siapa di sini yang anaknya memasuki masa susaaaaah banget disuruh tidur siang? *Ngacung paling tinggu

Setelah disapih, salah satu waktu yang sering terjadi drama adalah ketika waktu tidur siang. Maksudnya, Ken jadi sering menolak tidur siang karena ingin bermain terus, padahal sering kali sebenarnya ia sudah merasa ngantuk. Hal ini diperparah dengan jetlag yang dialami Ken ketika pindah dari Bristol ke Indonesia. Jam tidur menjadi berantakan, termasuk tidur siang.

Alhamdulillaah, belakangan kebiasaan tidur siang Ken semakin teratur. Tapiiiiii mesti ada sesi tawar-menawar dulu sebelum akhirnya tidur ðŸ˜ª

Salah satu cara berkomunikasi dengan Ken yang cukup efektif adalah dengan membuat kesepakatan dengan Ken. Contoh kesepakatan itu adalah dengan memberikan kesempatan Ken menentuka sendiri kapan ia harus berhenti main dan tidur siang. Seperti yang terjadi hari ini.

Ibu: Ken, abis pipis kita bobo ya
Ken: nggak mau. Ken mau main aja.
Ibu : Oke, Ken masih boleh main, tapi sebentar saja ya. Ibu pasang alarmnya ya (karena Ken belum bisa memahami konsep waktu, jadi untuk memudahkan, dipasang alarm)
Ken: iya 
Ibu: Ken mau berapa menit lagi?
Ken: tiga menit
Ibu: Oke (ibu memasang alarm di hape sambil disaksikan Ken)

Setelah alarm berbunyi, Ken mematikannya sendiri dan langsung menghentikan kegiatan bermainnya dan pergi ke tempat tidur. Eh, tapi apa Ken akan langsung tertidur? Beluuuum... masih ada sesi tawar-menawar lagi sebelum akhirnya ia benar-benar terlelap.

Ibu: Ken mau bobonya, lampunya dimatikan atau dinyalain?
Ken: bobonya lampunya dinyalain aja
Ibu: Iya, tapi Ken bobo ya. Kalau nggak, lampunya dimatiin aja supaya tidurnya lebih enak.
Ken: nggak mau, dinyalain aja
Ibu: Oke, asal Ken tidur ya. 


Cara berkomunikasi seperti ini, menurut saya lebih efektif dibandingkan menyuruh Ken tidur dengan cara marah-marah dan berujung pada pecahnya tangisan dan drama tantrum. Meskipun rate keberhasilannya tidak 100% terutama kalau Ken sedang benar-benar tidak mengantuk atau ada hal khusus lainnya. Namun, dengan membuat kesepakatan seperti itu saya merasa lebih menghargai Ken dengan memberinya kesempatan menentukan sekaligus melatih mengambil keputusan sendiri. Apabila ia tidak mengikuti keputusan yang telah diambilnya sendiri, maka ia akan mendapatkan konsekuensi  baik itu secara natural atau sesuai dengan yang telah disepakati. 

Apabila dirangkum, strategi komunikasi yang saya lakukan dalam cerita ini adalah:
1. Menggunakan kalimat tunggal dan pendek
2. Menawarkan pilihan solusi kepada anak (untuk anak seusia Ken yang masih harus banyak diarahkan)
3. Mengenalkan konsep batas waktu
4. Menjelaskan alasan kenapa harus tidur siang (Ini saya lakukan biasanya kalau ada penolakan lebih lanjut, kebetulan hari ini lebih mudah dikasih tahunya, hihi... Jadi jurus yang ini nggak dikeluarkan deh)


Jadi, ternyata anak semuda Ken sudah bisa lho diajak membuat kesepakatan dan saya merasa cara ini membuat dia tidak merasa terlalu terpaksa melakukan apa yang dikehendaki orang tuanya karena saya memberikan ia kesempatan untuk menentukan pilihan arau tidak sekadar mendikte solusi. Jadi, dalam proses meminta ankak tidur siang aja udah banyak hal ya yang bisa dipelajari, hehehe. Doakan ya semoga Ken semakin otomatis sadar akan pentingnya kebutuhan tidur siang, supaya ibunya tinggal bilang "Ken, waktunya tidur siang" dia langsung menjawab "Oke, berangkat, bu!"


Kalau ibu-ibu ada tips lain nggak?


Cheers!
Sawitri Wening


Baca artikel lain tentang Komunikasi Produktif di sini

#hari2
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Thursday, November 2, 2017

Komunikasi Produktif: Bahasa Tubuh

Ken berusaha meniru tingkah laku Kucing
Berkomunikasi dengan Ken yang saat ini berusia 26 bulan, bagi saya, adalah salah satu hal yang menantang dan sering kali menguji kesabaran. Meskipun Ken sudah bisa berbicara dengan cukup jelas, namun sebenarnya, anak seusia Ken masih butuh banyak dibantu dalam hal menyampaikan apa yang diinginkan atau yang dirasakannya. Belum lagi rasa ingin tahunya yang sangat, sangat besar, membuat ia melakukan hal-hal yang kerap kali membuat saya khawatir dan harus berulang  ulang ulang kali menyampaikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hahah, terkadang sampai berbusa mulut ibunya, tapi Ken masih juga melakukan hal yang sebenarnya tidak diboleh dilakukan, misalnya dilarang main di dekat alat olahraga karena takut terjepit, tapi anaknya masih saja melakukannya. Hal lainnya adalah Ken sedang ada dalam fase sering menolak ketika diminta mandi,buang air di toilet atau bahkan saat mau ganti celana. Intinya, saat ini saya benar-benar sedang ditantang oleh Ken untuk bisa berkomunikasi produktif atau berkomunikasi yang ada hasilnya, jadi nggak cuap-cuap aja. Pas banget yaaa sama tugas yang sekarang. Walaupun, saya yakin sih materi ini pasti akan berguna sampai berapapun usianya Ken.

Jadi, mari kita cerita soal praktik komunikasi produktif hari ini...

Day 1 - Memanfaatkan bahasa tubuh
Saat berada berdua saja dengan Ken di rumah (Errr... sebenernya sekarang maasih bertiga sih sama ayahnya), saya biasanya menyiapkan beberapa kegiatan (invitation play) agar Ken tidak bosan dan belajar sesuatu (sambil bermain) di rumah seharian, sembari menunggu sepupunya pulang dan akhirnya berbaur main sesuka mereka. Seperti biasa, terkadang Ken mau mengikuti kegiatan yang saya siapkan dengan excited dan serius. Tapi, terkadang ia juga menolak dan memilih bermain atau melakukan hal lain yang dia mau. 

Hari ini, saya mencoba menawarkan berkegiatan 'menjahit' dengan materi kertas dan tali. Senangnya hati ibu, ternyata Ken mulai tertarik dan serius mengerjakannya. Padahal sebelumnya kegiatan ini pernah ditolak mentah-mentah. Setelah selesai dengan kegiatan menjahitnya, Ken saya tawarkan untuk meronce manik-manik, sebab sebelumnya dia begitu serius dan senang mengerjakannya. Ternyata, saya salah... Ken sedang tidak mood main manik-manik. Alhasil, dia mengekspresikan hal itu dengan menyebarkan manik-maniknya ke penjuru kamar (menurut dia seru kali ya, semacam sebar confetti gitu). Saya udah pasti lah kecewa, soalnya selain jadi berantakan, jadi banyak yang hilang. Gemes lah pokoknya. Kalau tadi sumbu kesabaran saya sedang pendek, pasti saya sudah menghujamnya dengan perkataan larangan yang tidak efektif sambil ngomel-ngomel bilang "jangan...jangan...tidak...tidak...no...no..dsb" yang tidak berujung pada solusi dan justru membuatnya cemas dan merasa dirinya buruk karena terus menerus disalahkan. Padahal, bisa jadi itu adalah salah satu bentuk rasa penasarannya yang sebenarnya merupakan salah satu fitrah baik, uyaitu punya rasa ingin tahu yang besar. Oke, jadi hal itu dulu yang harus saya sadari *berdoa biar nggak lupa.

Sebenarnya ingin juga sih marah-marah, tapi untung saya cepat sadar dan memilih diam, lalu menunjukkan ekspresi kecewa saya dengan bahasa tubuh dan menggunakan i-message sambil berkata, "Ken, ibu sedih ya kalau Ken seperti itu. Ibu nggak suka kalau Ken sebar manik-maniknya karena jadi berantakan. Nanti kalau banyak yang hilang, Ken jadi nggak bisa main lagi." Kesalahan saya saat itu adalah tidak langsung menyampaikan rasa empati kalau mungkin dia sedang tidak ingin main manik-manik *catatan untuk perbaikan 

Setelah beberapa saat saya membiarkannya sibuk dengan apa yang dikerjakannya sendiri, saya menghampirinya dan bilang, 
Ibu: "Ken ibu sedih kalau Ken lempar-lempar kayak tadi." Ken melihat saya dan memperhatikan ekspresi saya lalu dia bilang, 
Ken: "bu, jangan sedih bu..." Aduh, saya terharu beneran.
Ibu: "Ken mau bikin ibu happy lagi nggak?"
Ken: "mau..."
Ibu: "Kalau gitu, Ken dan ibu nanti beresin manik-maniknya ya"

Kemudian, Ken ikut membereskan manik-manik yang berserakan di lantai dooong :''). Sejujurnya saya nggak nyangka kalau Ken mau ikut membantu. Bila saya sudah marah-marah duluan, pasti ending-nya akan bikin lelah hati, baik saya dan Ken. Sebenarnya yang bikin saya begitu senang bukan hanya karena Ken mau ikut membantu, tapi saya merasa saat itu Ken sudah bisa memahami perasaan orang lain dan menunjukkan empatinya dengan membantu ibu. Sesudahnya, so pasti Ken saya beri pujian.

Bagi saya, melakukan komunikasi seperti itu memang perlu usaha karena biasanya sudah terbawa emosi duluan. Yang pertama adalah berusaha untuk bersabar dulu dan memahami kenapa anak berperilaku seperti. Lalu, dalam berkomunikasi dengan anak kali ini, saya meng-highlight kaidah 7-38-55 (Keberhasilan komunikasi dipengaruhi oleh 7% aspek verbal, 38% intonasi suara, dan 55% bahasa tubuh). Ternyata anak lebih banyak mengobservasi apa yang kita tunjukkan dibandingkan dengan apa yang kita katakan. 


Semoga bisa makin luwes dan semoga bermanfaat untuk yang membaca ya!

Cheers!
Sawitri Wening


#hari 1
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Monday, October 16, 2017

Ken's Weaning Story


Apa kabar semuanya?! Yeay! Akhirnya kembali muncul lagi di sini setelah dua bulan lebih nggak nulis di sini. Lama juga ya 😅... Semenjak riweuh dengan segala hal-ihwal pindahan dari flat ke apartemen baru, kemudian disusul dengan persiapan kembali ke tanah air, rasanya kok energi dan pikiran ini banyak terkuras untuk hal-hal tersebut dan hal lainnya. Jadi, baru sekarang sempat update lagi. Sekarang, sudah sebulan lebih kembali ke Indonesia, kembali ke hal-hal lama yang mostly jadi terasa baru lagi buat saya. Jadi, saat ini posisinya masih dalam rangka adaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru. Bukan cuma saya aja yang sedang beradaptasi, tapi tentu juga suami dan yang paling banyak usahanya dalam membiasakan diri di lingkungan barunya yang sekarang adalah Ken.

Ngomong-ngomong soal adaptasi, saya mau cerita sedikit soal proses menyapih Ken. Kalau ingat postingan galau ini, rasanya bersyukur banget karena ternyata proses menyapih Ken nggak sehoror yang saya bayangkan sebelumnya. Iya, saya dan suami akhirnya memutuskan untuk menyapih Ken tepat di usianya yang ke dua tahun.


Mengurangi Waktu Menyusui
Memasuki usia 12 bulan, Ken yang awalnya 'susah makan' alhamdulillaah perlahan-lahan semakin pintar makannya. Yang semula menolak makan nasi, jadi mau. Yang tadinya, selalu melepeh-lepeh makanan, jadi semakin lancar mengunyah dan menelan makanan padat seperti layaknya orang dewasa. Walaupun kebiasaan melepeh makanan itu masih ada, tapi kalau dibandingkan pada saat Ken berusia dibawah satu tahun, kayaknya nggak ada alasan untuk nggak bersyukur. Setelah itu pun yang saya lakukan adalah mulai mengurangi intensitas menyusui Ken dan lebih banyak menawarkan makanan dan mengenalkannya dengan susu pasteurisasi (sebab di Bristol jarang sekali ada susu UHT). Hingga di usianya sekitar 14-15 bulan, Ken seringnya hanya meminta mimik atau disusui saat mau tidur DAN saat ia terbangun di tengah tidurnya. Masya Allah... Jadi, tugas saya sudah berkurang banyak, tinggal memikirkan bagaimana caranya agar Ken bisa tidur tanpa mimik dan tidak lagi mencari mimik di tengah tidurnya.

Sounding
As usual, we use this most powerful weapon to help Ken overcome with change. Kayaknya 5-6 bulan sebelum eksekusi, saya udah mulai wanti-wanti Ken kalau akan ada saatnya ia harus berhenti mimik, yaitu saat ia berulang tahun yang kedua. Kalimat yang paling sering saya gunakan adalah "Ken, nanti kalau sudah happy birthday, tiup lilin, berarti Ken sudah tidak mimik lagi ya." Selain itu, saya juga menjelaskan kalau anak yang sudah besar, sudah tidak mimik lagi dan Ken sudah besar. Begitu terus di berbagai kesempatan, dengan harapan Ken bisa lebih mudah melewati salah satu perubahan besar dalam hidupnya itu. Waktu itu saya berpikir, kalau saya jadi Ken, pasti saya akan sangat terpukul harus 'berpisah' dengan sesuatu yang selalu ada bersamanya semenjak ia lahir 💔.

Memilih cara menyapih
Karena bertekad ingin menyapih tanpa "membohongi" atau pakai cara orang-orang jaman dulu, ada satu catatan penting yang menurut saya nggak kalah penting, yaitu konsisten dan jujur dalam perkataan dan perilaku kepada anak. Oh iya, saya nggak menganggap cara yang dilakukan orang-orang jaman dulu itu, seperti mengoleskan parutan kunyit atau betadine di payudata agar terkesan sedang sakit, tidak baik karena bisa jadi itu adalah cara ibu agar anak bisa lebih legowo ketika disapih, ya kan daripada ibu dan anak stress karena drama penyapihan. Hal ini sempat juga terpikiran untuk saya lakukan, tapi setelah berdiskusi dengan suami, kami memutuskan memilih cara lain yang menurut kami lebih pas di hati, yaitu dengan memberikan pengertian kepada Ken.

Menentukan momen perubahan
Agak bingung juga kasih nama poinnya. Intinya, kami memilih momen yang menurut kami paling tepat untuk memulai proses menyapih dan informasi ini sudah diberitahukan kepada Ken. Jadi, ketika momen itu datang, Ken akan lebih siap dengan perubahan yang akan dialaminya. Momen yang kami pilih adalah saat ulang tahun Ken. Sengaja, kami mengundang tetangga dan mengadakan pesta kecil-kecilan sekadar menjadi penanda kalau setelah ini, Ken akan disapih.

Hal selanjutnya yang kami lakukan adalah eksekusi. Sesuai ekspektasi, ternyata drama yaaa, hahahah. Tapi, alhamdulillaah dramanya hanya berlangsung selama 3 hari. Di malam ke-4 Ken berhasil tidur sendiri tanpa nangis-nangis. Masya Allah, lega rasanya. Akhirnya tugas menyusui Ken selama dua tahun berhasil diselesaikan 😭. Di sini, saya mencatat ada beberapa fase yang Ken alami saat dan pasca disapih. Ini sama sih kayak fase umum yang terjadi kalau seseorang mengalami perubahan.

1. Fase Penolakan
Fase dimana Ken mampu menangis berjam-jam karena tidak diberi mimik saat mau tidur selama 3 hari. Di hari pertama super capeeek karena saya menuruti semua permintaannya, kecuali minta mimik. Karena tidak berhasil dapat mimik, Ken akhirnya minta macam-macam, minta pipis lah, makan lah, walaupun sebenarnya dia nggak benar-benar mau melakukan itu. Alhasil, kami baru tidur jam 3 pagi. Malam kedua, saya menggunakan strategi mengabaikan tangisannya dan berlaku seperti tidak ada apa-apa, jadi selama Ken menangis, saya tetap memejamkan mata dan memintanya untuk tidur sambil memberitahu konsekuensi kalau dia menangis terus (matanya bengkak, capek, dsb.) Hasilnya, Ken menangis selama 30 menit, diam dan tertidur sendiri. Malam ketiga, Ken masih menangis sekitar 10 menit lalu tertidur.

2. Fase Melawan/Denial 
Ternyata dramanya belum berakhir, buibuuu... Hahah, tapi nggak kayak sebelumnya sih. Di fase ini, Ken seringkali menolak untuk tidur, walaupun sebenarnya dia sudah mengantuk. Beda ya sama nggak mau tidur karena nggak ngantuk. Jadi, siap-siap deh tidur siang dan malam akan mundur beberapa jam karena anaknya udah nggak bisa lagi disogok pake mimik biar tidur cepat! 😂

3. Fase menerima
Meskipun terkadang Ken masih suka menolak tidur siang, tetapi sekarang ia sudah lebih mengerti. Jam tidur siang/malam pun sudah lebih teratur dibanding ketika masih pada fase sebelumnya. Di fase sebelumnya, Ken seringkali menghipnosis dirinya sendiri dengan bilang "no mimik, yes bobo" berulang kali. Padahal nggak ada yang mencontohkan dan kata-katanya yang catchy itu dia sendiri yang memilih. Masya Allah, di situ saya melihat usaha Ken untuk membuat dirinya sendiri paham akan perubahan ini.

Catatan saya adalah ketika mau memulai proses menyapih dengan cara ini, baik ayah ataupun ibu harus ikhlas dan yakin. Sebab, kalau tidak, akan terasa sulit di fase pertama sehingga jadi nggak tega dan akhirnya menawarkan mimik lagi. Ternyata, setelah proses menyapih yang penuh drama itu, terbitlah tidur yang lebih berkualitas, bebas sakit punggung, baju tanpa kancing depan, dan anak yang lebih mandiri karena tidur tanpa harus lagi disusui 😊

Sekian dulu ceritanya, mudah-mudahan ada manfaatnya ya. Bagi yang baru akan memulai proses menyapih, semangat ya, buibuuuu :*

Thanks for helping us through the thick of weaning process, guys! (Ken's Birthday Squad)

Cheers!
Sawitri Wening

Tuesday, August 8, 2017

Menghidari Melakukan Kekerasan pada Anak

“Bego banget sih! Makan yang bener, Tolol!” 

Kata-kata tersebut pernah saya dengar sendiri keluar dari mulut seorang ibu kepada anaknya. Entah kerjadian apa persisnya yang membuat ibu itu mengeluarkan kata-kata mengerikan kepada anaknya sendiri, yang masih berumur sekitar dua tahun itu. 

*

image frome here
Sebagai orang tua, tentu kita pernah menghadapi masa-masa sulit dalam mengasuh anak. Kejadian seorang ibu menyakiti anaknya sendiri baik secara fisik ataupun verbal bukan lah pemandang yang langka kita temui. Bahkan mungkin kita sendiri pernah menyakiti anak kita sendiri karena perasaan marah atau frustrasi menghadapinya yang sedang sulit diatur. Tentu saja hal seperti itu terkadang tidak dapat dihindari, karena orang tua juga manusia yang emosi negatifnya bisa tersulut sewaktu-waktu. Namun, tahukah kita bagaimana dampaknya pada anak kita kelak?

Untuk lebih memahami pentingnya mengontrol diri kita agar tidak menyakiti anak, kita perlu mengetahui hal apa yang bisa ditimbulkan dari kekerasan tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan kekerasan yang terjadi pada berdampak jangka panjang pada anak. Berikut adalah beberapa dampak yang ditimbulkan dari kekerasan anak dari berbagai penelitian:

1. Kurangnya kemampuan mengidentifikasi dan mengontrol emosi 
2. Berpotensi menyakiti diri sendiri atau self-harm ketika sudah dewasa 
3. Menimbulkan kecemasan, depresi, sulit berkonsentrasi, dan rendah diri 
4. Berkaitan dengan potensi menjadi korban kekerasan di kemudian hari 


Dr. Dan Siegel (2011) menyebutkan setidaknya ada empat cara praktis yang dapat kita lakukan apabila sedang menghadapi situasi yang sulit saat membersamai anak. Kondisi seperti ini sebenarnya dapat menjadi celah untuk kita, para orang tua, untuk dapat mengembangkan self-regulation atau kemampuan mengelola emosi kita dan anak. 

1. Berusaha untuk tidak menyakiti anak
Ketika sedang menghadapi situasi sulit dengan anak, berusahalah untuk menanah diri untuk tidak berkata kasar dengan menutup mulut. Letakkan kedua tangan kita di belakang untuk menghindari melakukan kekerasan fisik seperti memukul atau mencubit anak. 

2. Menjauh dari anak sejenak
Beri waktu sejenak pada diri kita untuk ‘bernapas’. Caranya dengan meninggalkan atau menghindari anak kita sebentar sampai kita merasa lebih tenang. Beri penjelasan kepada anak agar ia tidak merasa diacuhkan bahwa kita sedang membutuhkan waktu untuk menyendiri untuk beberapa saat dan akan kembali lagi ketika sudah tenang. 

3.Bergerak!
Ketika kita sedang meluangkan waktu untuk menyendiri, mulai lah mengatur nafas dengan perlahan dan bergeraklah! Penelitian menunjukkan apabila kita bergerak atau melakukan relaksasi, hal itu akan berdampak pada perubahan emosi kita. Contoh sederhananya adalah, ketika kita tersenyum, maka kita akan merasakan lebih senang. Apabila kita mengambil napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, kita akan merasa lebih tenang. Bisa juga dengan melompat-lompat, menari atau apapun, asalkan kita bisa merasa lebih nyaman dan lega.

4. Segera perbaiki situasi dengan anak kita
Saat kita sudah tenang, segeralah kembali kepada anak kita dengan menerima sepenuhnya kejadian sebelumnya. Apabila hal yang tidak diinginkan sudah terlanjur terjadi, sebaiknya segeralah meminta maaf dengan anak kita dan sampaikan penyesalan atas apa yang sudah kita lakukan. Lalu, mulailah memahami emosi dan kondisi yang dialami anak, agar baik kita ataupun anak kita kembali pada kondisi emosi yang lebih stabil. Dengan begitu, hubungan antara kita dan anak kita bisa kembali baik.

Semoga kita semakin menyadari dampak buruk dari kekerasan kepada anak dan sebisa mungkin menghindarinya dan semakin sabar ketika membersamainya. Sebab masa depan anak-anak kita kelak, ada di tangan kita sekarang.


Artikel ini dimuat di haisobat.id.

haisobat.id  situs yang berisi info terkait life style, mental health issue, dsb.


Sumber:
Goldsmith, R., & Freyd, J. (2005). Effects of Emotional Abuse in Family and Work Environments: Awareness for Emotional Abuse. Journal of Emotional Abuse, Vol. 5(1).

Siegel, D.J., & Bryson, T.P. (2011). The Whole-Brain Child. New York: Deracorte Press.

Effects of Child Abuse & Neglect. Retrieved from http://www.joyfulheartfoundation.org/learn/child-abuse-neglect/effects-child-abuse-neglect

Vardigan, B. (2017). Yelling at Children (Verbal Abuse). Retrieved from https://consumer.healthday.com/encyclopedia/children-s-health-10/child-development-news-124/yelling-at-children-verbal-abuse-648565.html

Friday, July 28, 2017

#NHW9 Belajar menjadi Agen Perubahan

Tulisan ini adalah hasil dari refleksi diri penulis dan didedikasikan untuk memenuhi nice homework Kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional Batch #4

Wah, nggak berasa udah masuk ke tugas terakhir di perkuliahan matrikulasi ibu profesional. Meskipun masih harus lebih memacu diri untuk bisa istiqomah menjalani hal yang sudah dituliskan di dalam #nhw ini, namun sejauh ini, saya merasakan sekali manfaatnya, terutama dalam hal memaknai peran saya sebagai ibu, istri, maupun diri sendiri secara lebih positif. Senangnya lagi bisa kenalan dengan ibu-ibu jebat yang kurang lebih punya visi yang sama, yaitu menjadi individu yang lebih baik lagi. Luv banget deh pokoknya sama ibu-ibu #iipbekasi <3

Tugas kali ini, saya merasakan banyak keterkaitan dengan tugas sebelumnya. Bahkan, sepertinya ide yang akan saya tuliskan pada tugas ini sudah saya singgung di #nhw8. Nah, di sini, saya diajak untuk memikirkan lagi bagaimana mengolah minat saya supaya bisa jadi hal yang bermanfaat bagi orang banyak atau di kelas ini kami menyebutnya dengan "misi spesifik hidup".

Start from The Empathy. Mungkin kalau membaca bagan yang saya buat di bawah ini, isu sosial yang saya tuliskan sangatlah luas. Namun, apabila dilihat dari minat yang saya miliki, saya merasa dengan menulis kita bisa membagikan hal apapun yang menurut kita bermanfaat untuk dibaca orang lain. Poin yang saya tuliskan di bawah ini, tentu saja berawal dari kedekatan pengalaman saya sendiri. 

Pertama, sebagai seorang ibu baru, saya pernah mengalami baby blues, kebosanan, bingung menghadapi anak yang kolik, dan segudang masalah lainnya. Dengan membagikan pengalaman itu, saya berharap orang yang membacanya sedikit banyak bisa mendapatkan insight untuk mendapatkan solusi dari masalah serupa yang mereka hadapi. 

Kedua, ini sangat dipengaruhi oleh background pendidikan saya di bidang psikologi. Saya merasa belum banyak orang yang merasa kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Ingin sekali saya menuliskan pengetahuan yang saya miliki mengenai isu tersebut agar orang bisa mengambil manfaatnya. Namun, dalam hal ini masih banyak keraguan yang saya rasakan. Terutama karena merasa belum mumpuni dan banyak ilmu yang sudah lewat dari kepala saya. Sehingga apa yang harus saya lakukan untuk menjalani misi ini adalah dengan mempelajari lagi ilmu-ilmu tersebut agar lebih dapat menguasainya dan akhirnya percaya diri untuk menuliskan dan membagikannya.

Ketiga, berdasarkan pengalaman pribadi, saya senang mencari tahu terlebih dahulu mengenai produk yang hendak saya beli. Saya merasakan manfaatnya ketika membaca review orang lain di blog ataupun di website. Jadi, saya pikir kenapa saya tidak melakukan hal yang sama. Membantu orang lain untuk memberikan second opinion terhadap produk yang hendak dibelinya supaya nilai kebermanfaatannya lebih terasa. Ya, sesederhana itu, 



Semua itu, menurut saya bisa saya lakukan sekarang juga, di blog atau platform lainnya. Tinggal mengumpulkan tekad untuk mengerjakannya aja nih yang butuh semangat membara.

Sekali lagi, doakan saya ya!

Salam,
Sawitri Wening

Tuesday, July 25, 2017

#NHW8 What's Next?


Tulisan ini adalah hasil dari refleksi diri penulis dan didedikasikan untuk memenuhi nice homework Kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional Batch #4

Pada tugas kali ini, saya diajak untuk lebih fokus pada hal apa yang ingin dikaryakan dan merumuskannya secara teknis melalui perencanaan strategis.

Image from here
Lalu, bagaimana kaitannya dengan BE, DO, HAVE 

1. Kita ingin menjadi apa? (BE)
Ingin menulis hal-hal yang bermanfaat secara produktif. 
Kalau menengok kembali #NHW 7 tentang menjadi ibu yang produktif dan diminta untuk memilih salah satu kegiatan di kuadran aktivitas suka-bisa, saya akan memilih kegiatan menulis. Alasannya karena saya bisa merasakan kebahagiaan tersendiri saat sedang menulis dan membagikannya ke orang lain untuk dibaca. Alasan lainnya adalah saya berharap dengan tulisan tersebut saya bisa berbagi manfaat dengan orang lain. Hal yang saya bagi tidak jauh-jauh dari cerita saya menjalani hari sebagai seorang ibu dan istri. Sehingga bagi saya, menulis adalah cara saya menyalurkan perasaan, mengevaluasi diri, sekaligus menyimpan kenangan dan menjadi pengingat bagi saya di masa depan. Ya, seperti yang sudah saya tuliskan di tugas sebelumnya, menulis itu adalah kegiatan yang therapeutic buat saya dan sering kali ketika saya sedang lalai, saya diingatkan lagi oleh tulisan saya sebelumnya. 

Hal yang ingin saya sampaikan bisa berupa apa saja terkait dengan pengalaman parenting, review produk, buku, atau pemikiran yang bisa mengubah sesuatu ke arah yang lebih positif dan mempromosikanpentingnya meningkatkan kesehatan mental baik untuk diri sendiri, maupun orang di sekitar kita. 

2. Kita ingin melakukan apa ? (DO)
Di titik ini, saya merasa ilmu saya untuk membagikan hal yang bermanfaat melalui tulisan masih sangat kurang. Sehingga lagi-lagi menulis jadi salah satu alasan saya untuk mau banyak membaca dan belajar. Tapi, ternyata saya sadar kalau cara menulis saya tentu masih jauh dari sempurna, sehingga perlu banyak latihan dan jam terbang.

So, yang harus saya lakukan adalah memperbanyak jam terbang menulis dimulai dengan membuat satu tulisan minimal dalam seminggu dan mulai meng-encourage diri saya sendiri untuk berbagi tulisan di platrform atau komunitas sehingga kebermanfaatnya lebih bisa tersebar luas. Selain itu, saya juga mesti banyak belajar melalui berbagai sumber dan membaca buku tentang parenting, pengembangan diri, keluarga, dan agama. Targetnya dengan membuat jadwal membaca perhari atau 3 judul buku dalam seminggu. Maklum, saya suka baca beberapa buku dalam satu waktu. Semua itu tentu dilakukan dengan membersamai anak dan mendahului kewajiban sebagai istri. Sambil menerapkan apa yang sudah didapatkan dengan keluarga, sambil membagikannya kepada orang lain agar ilmu semakin tersebar.

3. Kita ingin memiliki apa? (HAVE)
Saya bercita-cita membuat buku/novel dengan tema yang saya minati dan dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Ya Allah... ini cita-cita dari jaman SMP dan nggak berubah, cuma motivasinya yang naik turun dan insya Allah ingin memperbaiki diri dan strategi untuk mencapainya, Yang penting, luruskan niat... luruskan niat untuk berbagi manfaat, bukan yang lain. Insya Allah...
Selain itu, melalui perjalanannya, saya ingin tetap membersamai anak dan membentuk karakter anak-anak yang sholeh, haus akan ilmu, dan banyak memberikan manfaat juga buat orang-orang di sekitarnya kelak.

Lanjut ke pertanyaan selanjutnya...
1. Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu kehidupan kita (lifetime purpose)
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, saya ingin bisa bermanfaat bagi orang lain, terutama untuk keluarga dan kemudian masyarakat. Caranya, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, menulis, salah satunya.

2. Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan (strategic plan)
Dalam 5-10 tahun ke depan, berarti usia saya sekitar 31-36 tahun ya... Saya ingin bisa lulus sekolah lagi di bidang psikologi atau pendidikan untuk menunjang, tetap aktif menulis di blog dan menulis artikel di website/komunitas, menghasilkan 1-3 buku yang memberikan value positif bagi pembacanya, mengajak Ken untuk mencoba aktif menulis

3. Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu satu tahun (new year resolution)
Dalam satu tahun ke depan, saya ingin membuat minimal 96 tulisan di blog, mulai menulis di majalan/website lain, mendapatkan beasiswa S2, menguasai ilmu bunda sayang dalam perkuliahan institut ibu profesional.

"Mulailah dengan PERUBAHAN, karena pilihannya hanya satu BERUBAH atau KALAH" - Institut Ibu Profesional


Salam Perubahan,
Sawitri Wening