Thursday, November 30, 2017

Melatih Kemandirian : Merapikan Mainan

Hal yang tidak bisa dihindari ketika punya toddler, salah satunya, adalah menemukan kamar/rumah berantakan karena mainan bertebaran dimana-mana. Nah, momen ini sebenarnya bisa jadi tools buat orang tua untuk mengajarkan anak tentang banyak hal, misalnya: kerapihan, tanggung jawab, disiplin, dan kemandirian. 

Kali ini, saya mau mengenalkan dan membiasakan Ken untuk membantu merapikan mainan, sebelum tidur. Sebenarnya, hal ini sudah pernah saya kenalkan ke Ken. Namun, belum konsisten karena berbagai alasan. Ya orang tuanya yang nggak sabar, penginnya cepat rapi. Ya anaknya yang menolak karena masih mau main, atau simply karena nggak mau aja. Yang pasti, untuk melatih kemandirian ini, saya tidak memasang target apapun. Sebab ingin proses yang dijalankan menyenangkan sehingga Ken tidak merasa dipaksa. Jadi, mari jalani tugas ini dengan riang gembira! Insya Allah, Saya akan update progressnya setiap hari di postingan ini.

DAY 1 - Persiapan & Pengenalan

Hal-hal apa saja yang saya perhatikan dalam melatih kemandirian. Kita mulai pelan-pelan ya buibuk. Ini sekaligus jadi catatan hari pertama saya.

1. Me-manage ekspektasi
Menurut saya, hal pertama yang paling penting sebelum melatih kemandirian anak adalah dengan mengetahui tahap perkembangan di usianya. Sehingga kita bisa membangun ekspektasi yang tepat mengenai kemampuan anak, sesuai dengan usianya. Jadi, untuk Ken yang masih berusia  2 tahun ini, paling tidak Ken mau diminta membantu membereskan dan mengikuti arahan saja sudah baik. Kalau katanya Ibu Najeela Shihab, ini penting untuk menghindari over/under expectation, supaya orang tua nggak stress sendiri karena anak belum mampu melakukan apa yg kita inginkan atau malah terlalu banyak membantu karena khawatir anak tidak bisa mengerjakaannya. 

Day 1 - Memang belum rapi, tapi ini Ken yang membereskan lho!

2. Briefing/Sounding 
Sebelum meminta Ken membantu ibu merapikan mainannya, saya tidak langsung ujug2 memintanya untuk membereskan mainan saat itu juga. Tapi, bilang rencana apa yang akan kita lakukan. Misal, "Ken nanti kalau jamnya sudah di angka 1 artinya waktunya bobo ya." Setelah ia menerima, baru saya bilang lagi, "Tapi sebelum bobo, bantu itu beres-beres mainannya ya." Sebisa mungkin hal ini di ulang ketika ada kesempatan yang pas.  

3. Menjelaskan Alasannya
Karena Ken tipe yang mesti dijelaskan betul, kenapa dia harus melakukan A dan kenapa tidak melakukan B. Jadi, saya pelan-pelan mengenalkan tentang kondisi rapi vs berantakan. Yang saya lakukan adalah menanyakan ke Ken, "Ken lihat deh kamarnya Ken. Rapi atau berantakan?" dia akan jawab berantakan (sebelumnya sudab dikenalkan dengan konsep rapi). "Kalau berantakan begini bagus nggak ya dilihatnya?" Dia diam sebentar lalu berkata "nggak bagus" Untung lah jawabannya pas, hahaha. Kalau nggak, ya diluruskan dong. "Iya nggak bagus. Nanti bantu ibu beresin ya biar rapi dan bagus". 

4.   Eksekusi

Dalam poin ini, saya akan mengupdate perhari-nya progress melatih kemandirian merapikan mainan di bawah ini:

Day 1 - Memberikan Pilihan
Saya sengaja memilih waktu membereskan mainan itu sebelum tidur. Kali ini sebelum tidur siang. Alasannya, ya biar nggak lebih efisien aja, soalnya kalo beresin sebelum doi tidur, nggak lama pasti berantakan lagi.

Di hari pertama ini, yang saya perhatikan adalah:

  - Menggunakan kata "tolong" dan mengajak Ken membereskan mainan bersama-sama, instead of hanya memerintah. Fungsinya supaya Ken merasa dihargai dan tentu saja supaya membuat tugas ini menyenangkan 😊

  -   Sebelum tidur, dia biasanya mau membawa satu/dua mainan sebagai teman tidurnya. "Oke, Ken ambil yang mau dibawa. Lalu, taro di sana. Sisanya, kita bereskan sama-sama ya". Sebenarnya ini pernah coba dilarang, tapi yang ada gak selesai-selesai beres2nya dan ngapain juga dilarang-larang ya. Nambahin drama kehidupan aja 😅
  
  - Ken suka main sama sepupunya. Nah, sering kali mereka saling pinjam mainan atau bawa mainan ke tempat mereka main, entah ke kamar abangnya atau ke kamar Ken. Kebetulan, tas mobil hot wheels abangnya lagi ada di kamar Ken. Kesempatan nih, ngajarin Ken beberes sambil sorting mobil-mobilan dia dan abang. "Ken masukin mobilnya abang di yang hijau, punya Ken yang oranye ya"   

Merapikan mobil-mobilan ke dalam kotaknya
Yeay! Hamdalah hari pertama anaknya mau dengan senang hati membantu ibunya membereskan mainan. Semoga seterusnya begitu ya, Ken ❤

#HariPertama #Tantangan10hari #Level2 #KuliahBunsayIIP #MelatihKemandirian


Day 2 - Pelajaran Baru
Merapikan pompom

Memasukkan bricks ke dalam kotaknya, sambil pura-pura main mobil
Terkadang kita, sebagai orang tua, suka menginterupsi kesenangannya bermain hanya karena terlalu malas beresinnya. Heheh, itu saya aja apa ada yang punya pengalaman serupa? Nah, salah satu mainan yang suka bikin gemes pengin cepat2 dirapikan adalah pompom. Apalagi kalau dimainkannya dihambur-hamburkan semacam confetti gitu, bikin emosi negatif menggelora. Karena apa? karena nggak tahan lihat berantakannya, bawaannya pengin cepet-cepet beresin aja.
Nah, hari ini saya belajar buat menahan diri untuk tidak menginterupsi kesenangannya Ken saat bermain pompom. Alasannya, biar Ken bisa ikut membereskan pompom yang berserakan tadi. Kalau saya yang membereskan, latihan kemandirian dan tanggung jawabnya gagal dong. 


Alhamdulillaah anaknya mau ikut mungutin pompomnya satu-satu dan memasukkannya ke dalam mangkok dan nggak pakai cemberut karena mainnya udah puas. Yang menarik lagi, waktu dia membereskan duplonya ke dalam kotak, Ken melakukannya sambil bermain. Jadi, kepingan duplonya dengan sendirinya dia imajinasikan sebagai mobil warna-warni yang akan masuk ke dalam markas. Yay! Beresin mainan bisa jd lebih menyenangkan ya Ken. Eh, ternyata merapikan mainan sebelum tidur ini ada efek positifnya juga lho buat Ken, yang aku perhatikan ya. Tapi ceritanya besok aja, sekalian membuktikan apakah yang aku pikirkan ini valid atau nggak 😉

#HariKedua #Tantangan10hari #Level2 #KuliahBunsayIIP #MelatihKemandirian

Day 3 - Rutinitas Baru
Kalau lihat pembahasan sebelumnya, di artikel komunikasi produktif, saya sering banget nyebut-nyebut kalau salah satu problem yang saya rasakan di usia Ken saat ini adalah seringnya penolakan yang saya terima ketika  memintanya untuk tidur siang. Nah, hubungannya apa sama latihan kemandirian merapikan mainan yang sedang aku terapkan ke Ken saat ini? Setelah aku perhatikan, kebiasaan merapikan mainan sebelum Ken tidur ini semacam jadi rutinitas baru buat dia. Kalau baca buku Filosofi Montessori dari Mbak Vidya, saya jadi tahu kalau anak-anak itu mencintai rutinitas dan katanya akan berpengaruh pada perkembangan kepercayaan dirinya. Nah, semenjak Ken saya ajak merapikan mainannya bersama saya sebelum tidur, Ken jadi gampang banget di ajak tidurnya dan nggak harus dipaksa-paksa. Kebiasaan baru ini jadi semacam tanda kalau dia sebentar lagi akan tidur. Yeay! Ibu happy! :)

Hari ini, Ken alhamdulillaah masih mau kalau diajak merapikan mainan. Tetapi, tetap ada sesi tawar-menawarnya. Ken mau membawa mainannya saat tidur. Buat saya ini kesempatan untuk mengajarkan menentukan pilihan dengan keterbatasan yang ada. Kesempatan buat Ken buat belajar hal baru. Jadi, Ken boleh bawa satu atau dua mainan saat tidur (dia boleh pilih), tetapi khusus untuk mainan yang ukurannya tidak terlalu besar.

#HariKetiga #Tantangan10hari #Level2 #KuliahBunsayIIP #MelatihKemandirian

Day 4 - Game level up


Melatih beberes mainan hari ini lebih menantang dari biasanya. Jadi, hari ini lagi ada kumpul-kumpul keluarga di rumah karena salah satu sepupunya Ken ada yang ulang tahun. Jadilah rumah datuk jadi lebih heboh 5x lipat dari biasanya. Anak-anak mainnya juga pindah-pindah, kadang di ruang tamu, kadang di kamarnya Reyhan, kadang di kamarnya Ken. Jadi singkat cerita,  sebelum tidur kondisi kamarnya Ken seperti layaknya kapal pecah. Mainan bertebaran dimana-mana. Nggak apa banget siiih namanya juga anak-anak main. Saya pikir, waw tantangan buat saya dan Ken buat beresin mainan nambah nih. Sekalian juga mau lihat reaksinya Ken ketika diajak beberes kali ini.


Coba tebak yang senewen siapa? Bukan Ken, tapi emaknya! 😅. Ken sih mau-mau aja diajak beberes, cuma reaksi saya lihat mainan yang berantakan, bikin saya pengin segera selesai dan rapi. Karena ini juga sepertinya saya banyak mengeluarkan kalimat-kalimat tidak produktif alias ngomel-ngomel ke Ken yang beresin mainan sekaligus main dan banyak negonya, alias lama. Jadi, target menciptakan proses beberes yang menyenangkan hampir gagal.

Alhamdulillaah, untung saya segera sadar dan meng-encourage Ken untuk beberes lagi dengan cara yang lebih positif (stop ngomel). Yaitu dengan mengubah intonasi suara dan ekspresi wajah. Ken juga terlihat senang ketika sudah berhasil meletakkan mainan ke tempatnya. Sebelum naik ke tempat tidur untuk baca buku dan tidur, saya memeluk Ken dan mengucapkan terima kasih karena telah membantu ibu merapikan mainan.


Terima kasih ya, Ken 😘

#HariKeempat #Tantangan10hari #Level2 #KuliahBunsayIIP #MelatihKemandirian

Friday, November 17, 2017

Komunikasi Produktif: Mobile Legend


Catatan kali ini agak berbeda dengan catatan sebelumnya. Kalau yang sudah-sudah saya menceritakan tentang komunikasi yang saya lakukan dengan Ken, sekarang saya mau cerita yang berkaitan dengan suami. 

Coba siapa di sini yang tersenyum waktu lihat judul postingan ini, hahahah. Tos dulu bu, mungkin kita senasib punya suami yang suka main game. Eh, tapi apakah kebanyakan laki-laki memang suka main game ya. Jadi, singkat cerita, suami saya lagi keranjingan main game online Mobile Leged. Saya saking nggak pahamnya kenapa suami suka banget main ini, jadi ikutan coba main juga. Eh, tapi yang ini cerita lengkapnya di postingan terpisah aja. Sekarang fokus cerita tentang komunikasi produktif.

Entah udah berapa kali suami saya meminta saya untuk pijit dengan Mbok Jamu langganan mama mertua. Alasannya, emmm… Nggak ada alasan khusus sih, kayaknya supaya saya bisa ada waktu buat relaksasi aja. Soalnya, setahun nggak pernah ke salon buat pijet kan karena di Bristol mah ngapain banget ke salon, buang-buang duit.  Jadi, begitu mendarat di Bekasi, suami rajin banget minta saya arrange waktu pijet sama Mbok jamu setiap kali di rumah ada yang pijat. Akhirnya kemarin kesampean juga pijat. Ekspektasi di awal, saya pijat dengan tenang sambil dengerin mbok jamu cerita, terus ketiduran pas dipijet. Kenyataannya, Ken masuk kamar dan ngegercokin ibunya lagi pijet, berantakin mainan, dan naik-naik ke punggung ibunya. Hahahaha, bubyaaaar sesi me-time santai-santai ibu.

Terus, ayahnya kemana? Katanya mau jagain selama ibunya Ken pijat. Iyaaah, main Mobile Legend :’( Tahu kan buibu, kalo main mobile legend itu nggak bisa diapause, alias mesti fokus biar nggak kena AFK. Terus, menurut penelitian dibilang laki-laki itu kalau sedang melakukan sesuatu selama 10 menit, dia bakalan fokus ke sesuatu itu dan nggak bakal dengar atau peduli sekitarnya, termasuk saya yang minta tolong supaya Ken diamankan dulu. Bukan karena gerecokin saya, tapi karena dia mainan mangkok kaca. Kan ribet ya lagi dipijet tengkurep gitu, mesti ngejar-ngejar bocah yang nggak mau udahan main mangkok dan PRANK! pecah kan…..

Sesudahnya, saya pun menyampaikan uneg-uneg saya ke suami soal kejadian tadi siang.

Ibu: Ayah, aku nggak apa ayah main game. Tapi, boleh tolong lihat sikon nggak kapan waktu yang tepat untuk main game.
Ayah: Iya, maaf ya bu tadi.
Ibu: Kalau Ken lagi tidur begini, silakan ayah main game.
Ayah: Nggak… aku nggak main game
Ibu: Ya nggak apa  sekarang nggak main game, tapi nanti pas anaknya bangun ayah jangan main game dulu. Nanti kalau ibu mau minta tolong, susah.

Hehehe, sebenarnya saya nggak tahu sih ini sudah termasuk komunikasi produktif atau bukan. Tapi, yang saya lakukan adalah mencoba menyampaikan apa yang saya rasakan dan memberikan solusi kepada ayahnya Ken karena saya tahu kesenangannya bermain game dan tahu serunya. Jadi, saya berusaha untuk tidak melarangnya karena mungkin dengan main game dia bisa melepaskan stress dan katanya bisa bersosialisasi dengan teman-teman lamanya. It’s a win-win solution, isn’t it? Yea, hope so.

Cheers!
Sawitri Wening


#harike10
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Tuesday, November 14, 2017

Komunikasi Produktif: Pergi ke Pemakaman

Makan bersama setelah ke Pemakaman

Beberapa hari yang lalu, keluarga besar suami saya mendapatkan kabar duka. Salah satu adik dari papa meninggal dunia. Kami sekeluarga berencana melayat ke rumah duka keesokan paginya dan ini merupakan pengalaman pertama Ken pergi ke pemakaman. Maka, sebelum tidur, saya mencoba menceritakan dengan bahasa sederhana tentang berita yang baru saja kami terima kepada Ken dan melakukan sounding tentang rencana kami keesokan harinya.

Ibu: "Ken tidur ya. Besok kita mau ke rumahnya Datuk Wawan"
Ken: "Ke rumah datuk wawan ya"
Ibu: "Iya, datuk wawan baru aja meninggal dunia. Semua orang di sana nanti sedih"
Ken: *mendengarkan dengan seksama*
Ibu: "Jadi, besok Ken yang manis ya. Yang tenang karena orang-orang lagi sedih."
Ken:"Kalo di mesjid, sholat, harus tenang"
Ibu: "Iya betul kayak kalau diajak ke mesjid sama ayah, harus tenang."

Keesokan harinya, sebelum berangkat, saya kembali men-sounding Ken untuk bersikap manis selama perjalanan (karena lumayan jauh) dan saat sampai di rumah duka. Masya Allah, benar saja selama perjalanan Ken maniiiiis sekali dan kelihatan menikmati sekali. Hampir sepanjang perjalanan, ia banyak bernyanyi dan memperhatikan mobil-mobil. Saat sampai di rumah duka, Ken terlihat agak takut karena banyak orang yang belum dikenalinya. 

Selama berada di sana, saya berusaha untuk menjelaskan kepada Ken tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya saat ini. Tentang memandikan jenazah, tentang orang-orang yang berduka, tentang pemakaman, tentang kemana kita kembali ketika sudah meninggal nanti yang bikin saya berurai air mata. Huhu, momen seperti ini selalu mengingatkan saya pribadi kalau kita tidak selamanya berada di dunia ini dan saya sedikit-sedikit mulai memberitahukan Ken soal hal itu di momen ini.

Ibu: "Ken, Datuk Wawan sebentar lagi mau dimakamkan, dikubur di dalam tanah. Kita doakan ya semoga amal Datuk Wawan diterima Allah."

Hari itu Ken mendapatkan satu pengetahuan baru. Meskipun Ken baru berusia dua tahun, bagi saya memberikannya pengetahuan soal batas usia ini bukanlah hal yang sia-sia, sebab seperti yang kita tahu, anak itu mengobservasi dan begitu cepat menyerap informasi yang diterima inderanya.

Ken mulai rewel saat perjalanan pulang ke rumah, rupanya ia mengantuk. Alhamdulillaah, ia masih sempat tidur siang sebelum sampai rumah.

Salam,
Sawitri Wening



#harike9
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Thursday, November 9, 2017

Komunikasi Produktif: Membantu

Ken dan sapunya

Ibu-ibu di sini pernah nggak sih merasa digerecokin sama anak ketika sedang mengerjakan sesuatu? Misal, kalau lagi nyapu atau masak. Saya pernah baca dimana gitu lupa, hahaha, katanya toddler itu punya sense of helping yg besar. Ini berkaitan dengan rasa ingin tahunya yang besar itu dan saya percaya ini adalah salah satu fitrah baik dari Allah yang harus kita pupuk dan kita jaga agar tidak terkikis dengan rasa ketidakpedulian dan berujung pada buta rasa ketika melihat ada orang yang kesusahan. Jadi, kalau lihat ada orang yang masa bodo lihat nenek-nenek mau menyeberang jalan, misalnya, kita boleh bertanya-tanya dengan cara apa dia dibesarkan dan mengapa bisa menjadi seperti itu. Sudah pasti orang tua / caregiver-lah yang berperan. Makanya, tanggung jawab sebagai orang tua itu nggak main-main ya. 

Jadi, dengan mengingat-ingat hal tersebut, saya selalu berusaha untuk mengubah persepsi saya yang tadinya "hadeeeuh, ngegerocikan aja nih anak." menjadi "oooh, dia mau tahu caranya menyapu." Makanya, waktu di Bristol, saya sengaja beli satu set sapu khusus buat Ken yang sedang ingin 'membantu' ibunya menyapu atau lebih tepatnya ingin meniru ibunya menyapu. Atau ketika saya sedang memasak, dan dia ingin tahu apa yang saya kerjakan, biasanya saya dudukkan dia di highchair dan memberi tahu kegiatan apa yang saya lakukan dan berujung pada Ken yang ikut membantu mengupas bawang. Yah, itung-itung melatih sensori lah. 

Seperti kemarin, saat saat sedang menyapu, Ken ingin mengambil sapu yang saya pegang.

Ibu: Ken, ibu lagi apa ini?
Ken: Nyapu
Ken: Ken mau nyapu.. Ken mau nyapu..
Ibu: Iya sebentar ya Ken. Ibu ambil sapu satu lagi *untung mbauti punya dua sapu.
Ibu: Ini ya ken. Yok kita sapu sama-sama yok!
Ken: *ngintilin ibunya sambil pura-pura menyapu*

Yaaa iya sih jadi lama beresnya. Tapi, Ken jadi nggak cranky karena rasa ingin tahunya sudah terpenuhi. Rasanya itu lebih bikin tenang dibandingkan harus menghadapi Ken yang sedang cranky. Jadi, ibu senang, anak senang.

Atau pada waktu lainnya, saat Ibu mau menyapu lantai kamar yang ditutupi evamat, Ken menolak untuk keluar kamar. Lalu ayah mengajak Ken untuk ikut melepas evamat-nya dan menumpuknya. Ya tapi, sambil disemangatin kayak lagi lomba gitu. Jadi, hitung-hitung Ken bisa menyalurkan kesenangannya 'membongkar' barang dan kerjaan ayah dan ibu juga beres. Alhamdulillaah...

Selamat memupuk rasa tanggung jawab dan empati anak. Mumpung rasa ingin tahunya lagi besar-besarnya, marilah kita cekoki dengan hal-hal baik seperti kesenangan membantu orang dan bersih-bersih. Sebab tidak ada istilah "masih terlalu kecil" untuk memperkenalkan hal-hal baik ke anak. 

Selamat pagi!
Sawitri Wening

Baca artikel lain tentang Komunikasi Produktif di sini

#harike7
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Monday, November 6, 2017

Komunikasi Produktif: Saat Anak Tantrum

Salah satu hal yang harus kami hadapi di usia Ken yang kedua ini adalah drama tantrum. Kalau menurut Siegel & Bryson (2011), ada dua hal yang menyebabkan seorang anak tantrum dan kedua hal tersebut membutuhkan penanganan yang sangat berbeda. Tipe tantrum pertama adalah anak menjadi rewel, menangis tak terkontrol karena menginginkan sesuatu yang 'dilarang'. Kalau hal ini terjadi, yang harus dilakukan adalah tetap tenang dan sebisa mungkin tidak menenangkan anak dengan menuruti keinginan anak karena ia akan belajar di kemudian hari kalau ia ingin meminta sesuatu, ia akan menjadi rewel. Yang terpenting beri tahu cara yang benar apa yang sebaiknya dikatakan/dilakukan anak ketika ia meminta sesuatu. Tantrum tipe kedua adalah akibat dari kecemasan dan ketegangan yang dirasakan anak, namun belum bisa diekspresikannya secara proper. Apabila tantrum model ini terjadi, orang tua harus memberikan kenyamanan pada anak, menggendong dan memeluk serta menanyakan apa yang dirasakannya dan memastikan kalau anak merasa aman dan nyaman. 

Lalu, bagaimana caranya berkomunikasi dengan anak yang sedang tantrum? Jujur, saya sebelumnya sempat bingung harus apa karena ketika Ken sedang tantrum, ia biasanya akan menangis sampai satu jam dan sulit sekali ditenangkan. Terkadang, malah terbawa emosi karena frustrasi dengan Ken yang sedang tantrum. Maklum bu, baru pertama kali melihat dan menghadapi langsung anak tantrum, ternyata rasanya campur aduk ya 😓. 

Day 5 - Saat Anak Tantrum

Saat minggu-minggu pertama di Indonesia, Ken sering sekali tantrum saat sedang tidur. Penyebabnya, awalnya saya pikir karena kelelahan dan tidak nyaman karena pilek. Tapi, setelah saya analisis lebih jauh, sepertinya penyebabnya lebih dari itu.

Siap-siap pulang ke Indonesia
Cerita sedikit ya, heheh... Hari-hari terakhir kami di Bristol dan hari-hari pertama di Indonesia adalah masa yang berat untuk Ken. Dia harus beradaptasi dengan banyak hal di waktu yang berdekatan; disapih (which is i believe the most massive change in his entire life), pindah dari rumah tempat ia selama setahun tumbuh, berturut-turut harus pindah dari apartemen-hotel-rumah orang sebelum akhirnya berangkat ke London untuk naik pesawat, perjalanan 15 jam di pesawat, adaptasi dengan lingkungan baru (yang di satu sisi bikin dia excited, tp di sisi lain dia harus banyak menerima larangan), perubahan iklim negara, dan... OMG makin saya list ternyata makin banyak ya perubahan yang mesti dialami Ken dalam satu waktu. No wonder kenapa waktu itu Ken sering tantrum saat sedang tidur dan sering rewel. Sayangnya, semua itu baru saya sadari belakangan dan bukan diantisipasi sejak awal 😟. Well, tapi sekarang Masya Allah anaknya sudah beradaptasi kembali dengan baik.

Saat itu, reaksi saya ketika Ken tantrum di malam hari mungkin malah makin memperparah tantrumnya karena bingung sendiri, ini anak kenapa nangis, ibu salah apa ya.


Jadi, sekarang saya sudah lebih bisa belajar menghadapi tantrum tipe kedua ini. Seperti yang kami alami hari ini. 

Ken tertidur siang ini setelah drama tidak mau tidur siang kembali meletus. Sekitar sejam berlalu, ia terbangun lalu menangis. Oke, pertama yang harus saya lakukan adalah tenang lalu mulai berpikir apa penyebab Ken menangis. Saya pun menanyakan ada apa dengan lembut sambil mengelus-elus punggungnya. Di luar mbah kakung sedang mengajar dalang, wajar saja ia terbangun mungkin karena keberisikan dengar suara keprak. Komunikasi yang saya bangun saat Ken menangis seperti itu sudah pasti hanyalah monolog karena ia tidak akan menjawabnya. Yang saya lakukan sembari menenangkannya adalah mencoba menerjemahkan apa yang dirasakannya saat itu dgn berempati dan menggunakan kalimat pendek.
"Ken masih ngantuk ya?"
"Berisik ya di luar, Ken jadi kebangun."
"Sini tidur lagi sama ibu ya."

Tak lama, ia tertidur lagi.

Ternyata benar ya, saat anak sedang tantrum, kunci utamanya itu adalah jangan panik dan tetap tenang (Ehem, semoga kita dalam keadaan waras dan bisa ingat ini terus ya), mencoba berempati, mencari tahu penyebabnya, dan bicara seperlunya saja--jangan menghujani anak dengan pertanyaan (soalnya makin ngamuk pasti karena pusing kali ya denger ibunya ngomong terus) dan perlahan menenangkannya. Mudah-mudahan kita semua selalu dimudahkan dan diberi kesabaran yang luas dalam membesarkan anak.

Maapkeun ya kebanyakan curhatnya daripada inti catatannya :D

Selamat pagi! 
Sawitri Wening



Baca artikel lain tentang Komunikasi Produktif di sini

#hari5
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Sunday, November 5, 2017

Komunikasi Produktif: Melarang & Mengakui Kesalahan

This little guy is a bit obsessed with balloons!

Sepertinya hal yang paling sering kami lakukan, sebagai orang tua, akhir-akhir ini adalah mengeluarkan kalimat larangan kepada Ken. Seperti yang kita semua pahami, anak seusia Ken umumnya memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar. Setiap orang tua mungkin ceritanya bisa berbeda-beda ya. Kalau Ken, semenjak mulai bisa berbicara, ada masa dimana hal yang paling sering dikatakannya adalah "Ken mau pegang A... Ken mau pegang B..." Kayaknya mau tahuuuu banget benda itu apa sih itu. Mungkin kalauu bisa kita terjemahkan isi otaknya, yang terdengar adalah hal-hal ini bentuknya bagaimana, teksturnya seperti apa, keras atau lembek, bisa dibunyikan atau nggak, dan sebagainya. Saya yakin semua itu adalah fitrah dari Allah, dimana di usia ini, anak sedang ada pada tahap belajar yang luar biasa. Segala tingkah laku mereka sebenarnya adalah bentuk dari rasa ingin tahunya, yang sayangnya sering kali kita anggap sebagai suatu kenakalan atau bahkan kebodohan :( Kebayang kan kalo nggak sadar akan hal-hal tadi, bagaimana kita akan mencap seorang anak dengan sebutan negatif. Ah, sadar saja masih suka terbawa emosi seperti yang terkadang saya lakukan :''(

Kalau baca bukunya Mbak Vidya Dwina Paramita tentang hal apa yang harus diperhatikan ketika memutuskan untuk melarang anak, ada dua aspek yang harus dilihat sebelum melarang/menegur anak, yaitu 1) Aspek keamanan dan 2) Aspek Kesopanan. Jadi, kalau rasa ingin tahu anak sudah mengganggu salah satu atau kedua aspek tersebut, saya sepakat untuk wajib melarang anak melakukannya. Diluar itu, masih bisa ditoleransi bahkan harus didukung. Heheh, ini sekalian ngingetin diri sendiri biar nggak malas nanggepin rasa ingin tahu anak. 

Karena intronya kurang lebih berkaitan dengan hal yang saya ceritakan selanjutnya. Jadi, saya akan gabung catatan hari ketiga dan keempat di sini ya. 


Day 3 - Melarang 
Jadi ceritanya, Kami pergi ke Perpusnas yang lagi hits itu kemarin karena pas banget lagi ada acara festival dongeng. Rame-rame sama mbauti dan sepupu-sepupunya Ken. Seperti biasa deh, Ken kalau ada di tempat baru pasti bawaannya ingin menjelajahi tempat itu sampai ke sudut-sudutnya. Entah sudah berapa kalimat larangan yang saya katakan, ya karena emang harus dikasih tahu anaknya kalau melakukan itu nggak boleh. Misal, tidur-tiduran di lantai, nyelip-nyelip di antara bangku-bangku, lari-lari karena takut terjatuh. Yang paling tidak bisa ditoleransi adalah ketika Ken bermain di dekat stop kontak.

Sebenarnya sih dia hanya ingin melihat balon-balon, tapi ternyata ada stop kontak di bawah tumpukan balon-balon itu. Ketika Ken tidak bisa diberitahu sekali, saya langsung berubah lebih tegas, "Ken, itu kabel berbahaya. Jangan main dekat situ!" Lalu, saya membawanya menjauhi tempat itu. Setelah itu, baru saya beri tahu pelan-pelan mengapa ia tidak boleh main di dekat situ dan mulai mengalihkannya dengan hal lain.

Ibu: "Ken, tahu nggak itu apa?"
Ken: "Kabel"
Ibu: "Ibu bilang boleh nggak main dekat kabel"
Ken: "Nggak boleh"
Ibu: "Iya, nggak boleh karena berbahaya. Ken bisa kesetrum, sakit. Nanti Ken nangis."
Ken: *masih tergoda mengambil balon di tempat tadi*
Ibu: "Kita lihat balon yang di sana aja yuk" *Ken menurut*

Setelah saya pikir-pikir, berhadapan dengan toddler itu adalah seni mengalihkan perhatian. Rasa ingin tahunya sepertinya mesti selalu ditantang dengan sesuatu. Jadi, kalau melarang melakukan sesuatu, kayaknya mesti cari alternatif hal lain untuk dikepoin sama otaknya. Betul nggak, buibu?


Day 4 - Mengakui Kesalahan

Children love to interact with their parents
Catatan kali ini adalah sebuah pengakuan dosa *siap dihujat*. Berapa banyak sih dari kita yang main sama anak sambil lihat-lihat hape? Pasti pernah kan merasakan lagi bosan atau lelah dan ingin mengintip notifikasi  atau sekadar lihat-lihat aja, waktu main sama anak. Intinya itu yang kejadian sama saya hari ini. Kebetulan Ken ini anaknya suka bete kalau dicuekin dan inginnya apa yang ia katakan selalu ditanggapi. Tapi, siapa pun kalau dicuekin pasti bete ya. 

Kami baru saja pulang dari menengok sahabat saya yang baru lahiran. Di rumah sahabat saya itu, ada seekor kucing namanya Boni. Ken sukaaaa banget sama kucing, jadi sambil leyeh-leyeh dan main mobil-mobilan, Ken tiba-tiba bilang.
Ken: "Tadi ken liat kucing"
Ibu: "Oh iya, inget nggak kucingnya namanya siapa?"
Ken: "Doni"
Ibu: " Bukan. Boni."
Ken: "Iya, Boni."
Ibu: "Ken ingat nggak kucingnya warna apa?" *mulai pegang hape*
Ken: "Warna white!"
Ibu: "Coba inget lagi. Emang warnanya white?" *mulai lihat-lihat hape*
Ken: "Warna black"
Ibu: "Hmm? emang warna black?" *mulai nggak fokus*
Ken: ~~~ *ngomong sesuatu tapi saya nggak dengar*
Ibu: "Eh, iya kenapa, Ken?" *Lihat Ken matanya sudah berkaca-kaca*
Ibu: "Ken, kok nangis? Ken sedih ya, tadi lagi ngomong ibu nggak dengar?"
Ken: *mengangguk*
Ibu: Ken tadi ngomong apa memangnya? Maaf ya ibu nggak dengar."
Ken: "Ken ngomong warna orange" *sambil mulutnya mulai maju*
Ibu: "Oooh iya betul kucingnya warna orange. Maaf ya Ken ibu tadi nggak dengar. Sini ibu peluk"
Ken: *menaruh hape ibunya di lantai, duh jleb banget rasanya* 
Ibu: "Sori ya Ken... maaf. Ken nggak suka ya ibu lihat hape waktu Ken ngomong?"
Ken: *mengangguk*
Ibu: "Ibu nggak boleh lihat hape?"
Ken: "iya..."
Ibu: "Maaf, Keeen...Ken maafin ibu nggak?" *sambil memeluk*
Ken: Iya *sambil mengangguk*

Rupanya dia sepertinya sudah berekspektasi apa yang akan saya katakan kalau ia menjawab warna kucingnya dengan benar dan realitanya ibunya malah sibuk lihat hape :"""(. Seenggaknya ada banyak hal yang bisa saya dan Ken pelajari dari kejadian singkat tadi. Ken belajar bagaimana ibunya mengakui kesalahan dan ibu tentu saja belajar untuk berusaha lebih keras untuk tidak menduakan Ken saat sedang bermain atau mengobrol dengannya. 

Saat itu, saya juga berusaha untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya, menggunakan kalimat-kalimat pendek , dan mengulang perkataan maaf agar Ken lebih mudah mengerti dan memahami pesan dan fungsi dari kata "maaf" itu sendiri.


Semoga bermanfaat!
Sawitri Wening



Baca artikel lain tentang Komunikasi Produktif di sini

#hari3
#hari4
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Friday, November 3, 2017

Komunikasi Produktif: Membuat Kesepakatan

Ketika bisa tidur siang adalah sebuah pencapaian

Day 2 - Membuat kesepakatan

Siapa di sini yang anaknya memasuki masa susaaaaah banget disuruh tidur siang? *Ngacung paling tinggu

Setelah disapih, salah satu waktu yang sering terjadi drama adalah ketika waktu tidur siang. Maksudnya, Ken jadi sering menolak tidur siang karena ingin bermain terus, padahal sering kali sebenarnya ia sudah merasa ngantuk. Hal ini diperparah dengan jetlag yang dialami Ken ketika pindah dari Bristol ke Indonesia. Jam tidur menjadi berantakan, termasuk tidur siang.

Alhamdulillaah, belakangan kebiasaan tidur siang Ken semakin teratur. Tapiiiiii mesti ada sesi tawar-menawar dulu sebelum akhirnya tidur ðŸ˜ª

Salah satu cara berkomunikasi dengan Ken yang cukup efektif adalah dengan membuat kesepakatan dengan Ken. Contoh kesepakatan itu adalah dengan memberikan kesempatan Ken menentuka sendiri kapan ia harus berhenti main dan tidur siang. Seperti yang terjadi hari ini.

Ibu: Ken, abis pipis kita bobo ya
Ken: nggak mau. Ken mau main aja.
Ibu : Oke, Ken masih boleh main, tapi sebentar saja ya. Ibu pasang alarmnya ya (karena Ken belum bisa memahami konsep waktu, jadi untuk memudahkan, dipasang alarm)
Ken: iya 
Ibu: Ken mau berapa menit lagi?
Ken: tiga menit
Ibu: Oke (ibu memasang alarm di hape sambil disaksikan Ken)

Setelah alarm berbunyi, Ken mematikannya sendiri dan langsung menghentikan kegiatan bermainnya dan pergi ke tempat tidur. Eh, tapi apa Ken akan langsung tertidur? Beluuuum... masih ada sesi tawar-menawar lagi sebelum akhirnya ia benar-benar terlelap.

Ibu: Ken mau bobonya, lampunya dimatikan atau dinyalain?
Ken: bobonya lampunya dinyalain aja
Ibu: Iya, tapi Ken bobo ya. Kalau nggak, lampunya dimatiin aja supaya tidurnya lebih enak.
Ken: nggak mau, dinyalain aja
Ibu: Oke, asal Ken tidur ya. 


Cara berkomunikasi seperti ini, menurut saya lebih efektif dibandingkan menyuruh Ken tidur dengan cara marah-marah dan berujung pada pecahnya tangisan dan drama tantrum. Meskipun rate keberhasilannya tidak 100% terutama kalau Ken sedang benar-benar tidak mengantuk atau ada hal khusus lainnya. Namun, dengan membuat kesepakatan seperti itu saya merasa lebih menghargai Ken dengan memberinya kesempatan menentukan sekaligus melatih mengambil keputusan sendiri. Apabila ia tidak mengikuti keputusan yang telah diambilnya sendiri, maka ia akan mendapatkan konsekuensi  baik itu secara natural atau sesuai dengan yang telah disepakati. 

Apabila dirangkum, strategi komunikasi yang saya lakukan dalam cerita ini adalah:
1. Menggunakan kalimat tunggal dan pendek
2. Menawarkan pilihan solusi kepada anak (untuk anak seusia Ken yang masih harus banyak diarahkan)
3. Mengenalkan konsep batas waktu
4. Menjelaskan alasan kenapa harus tidur siang (Ini saya lakukan biasanya kalau ada penolakan lebih lanjut, kebetulan hari ini lebih mudah dikasih tahunya, hihi... Jadi jurus yang ini nggak dikeluarkan deh)


Jadi, ternyata anak semuda Ken sudah bisa lho diajak membuat kesepakatan dan saya merasa cara ini membuat dia tidak merasa terlalu terpaksa melakukan apa yang dikehendaki orang tuanya karena saya memberikan ia kesempatan untuk menentukan pilihan arau tidak sekadar mendikte solusi. Jadi, dalam proses meminta ankak tidur siang aja udah banyak hal ya yang bisa dipelajari, hehehe. Doakan ya semoga Ken semakin otomatis sadar akan pentingnya kebutuhan tidur siang, supaya ibunya tinggal bilang "Ken, waktunya tidur siang" dia langsung menjawab "Oke, berangkat, bu!"


Kalau ibu-ibu ada tips lain nggak?


Cheers!
Sawitri Wening


Baca artikel lain tentang Komunikasi Produktif di sini

#hari2
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Thursday, November 2, 2017

Komunikasi Produktif: Bahasa Tubuh

Ken berusaha meniru tingkah laku Kucing
Berkomunikasi dengan Ken yang saat ini berusia 26 bulan, bagi saya, adalah salah satu hal yang menantang dan sering kali menguji kesabaran. Meskipun Ken sudah bisa berbicara dengan cukup jelas, namun sebenarnya, anak seusia Ken masih butuh banyak dibantu dalam hal menyampaikan apa yang diinginkan atau yang dirasakannya. Belum lagi rasa ingin tahunya yang sangat, sangat besar, membuat ia melakukan hal-hal yang kerap kali membuat saya khawatir dan harus berulang  ulang ulang kali menyampaikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hahah, terkadang sampai berbusa mulut ibunya, tapi Ken masih juga melakukan hal yang sebenarnya tidak diboleh dilakukan, misalnya dilarang main di dekat alat olahraga karena takut terjepit, tapi anaknya masih saja melakukannya. Hal lainnya adalah Ken sedang ada dalam fase sering menolak ketika diminta mandi,buang air di toilet atau bahkan saat mau ganti celana. Intinya, saat ini saya benar-benar sedang ditantang oleh Ken untuk bisa berkomunikasi produktif atau berkomunikasi yang ada hasilnya, jadi nggak cuap-cuap aja. Pas banget yaaa sama tugas yang sekarang. Walaupun, saya yakin sih materi ini pasti akan berguna sampai berapapun usianya Ken.

Jadi, mari kita cerita soal praktik komunikasi produktif hari ini...

Day 1 - Memanfaatkan bahasa tubuh
Saat berada berdua saja dengan Ken di rumah (Errr... sebenernya sekarang maasih bertiga sih sama ayahnya), saya biasanya menyiapkan beberapa kegiatan (invitation play) agar Ken tidak bosan dan belajar sesuatu (sambil bermain) di rumah seharian, sembari menunggu sepupunya pulang dan akhirnya berbaur main sesuka mereka. Seperti biasa, terkadang Ken mau mengikuti kegiatan yang saya siapkan dengan excited dan serius. Tapi, terkadang ia juga menolak dan memilih bermain atau melakukan hal lain yang dia mau. 

Hari ini, saya mencoba menawarkan berkegiatan 'menjahit' dengan materi kertas dan tali. Senangnya hati ibu, ternyata Ken mulai tertarik dan serius mengerjakannya. Padahal sebelumnya kegiatan ini pernah ditolak mentah-mentah. Setelah selesai dengan kegiatan menjahitnya, Ken saya tawarkan untuk meronce manik-manik, sebab sebelumnya dia begitu serius dan senang mengerjakannya. Ternyata, saya salah... Ken sedang tidak mood main manik-manik. Alhasil, dia mengekspresikan hal itu dengan menyebarkan manik-maniknya ke penjuru kamar (menurut dia seru kali ya, semacam sebar confetti gitu). Saya udah pasti lah kecewa, soalnya selain jadi berantakan, jadi banyak yang hilang. Gemes lah pokoknya. Kalau tadi sumbu kesabaran saya sedang pendek, pasti saya sudah menghujamnya dengan perkataan larangan yang tidak efektif sambil ngomel-ngomel bilang "jangan...jangan...tidak...tidak...no...no..dsb" yang tidak berujung pada solusi dan justru membuatnya cemas dan merasa dirinya buruk karena terus menerus disalahkan. Padahal, bisa jadi itu adalah salah satu bentuk rasa penasarannya yang sebenarnya merupakan salah satu fitrah baik, uyaitu punya rasa ingin tahu yang besar. Oke, jadi hal itu dulu yang harus saya sadari *berdoa biar nggak lupa.

Sebenarnya ingin juga sih marah-marah, tapi untung saya cepat sadar dan memilih diam, lalu menunjukkan ekspresi kecewa saya dengan bahasa tubuh dan menggunakan i-message sambil berkata, "Ken, ibu sedih ya kalau Ken seperti itu. Ibu nggak suka kalau Ken sebar manik-maniknya karena jadi berantakan. Nanti kalau banyak yang hilang, Ken jadi nggak bisa main lagi." Kesalahan saya saat itu adalah tidak langsung menyampaikan rasa empati kalau mungkin dia sedang tidak ingin main manik-manik *catatan untuk perbaikan 

Setelah beberapa saat saya membiarkannya sibuk dengan apa yang dikerjakannya sendiri, saya menghampirinya dan bilang, 
Ibu: "Ken ibu sedih kalau Ken lempar-lempar kayak tadi." Ken melihat saya dan memperhatikan ekspresi saya lalu dia bilang, 
Ken: "bu, jangan sedih bu..." Aduh, saya terharu beneran.
Ibu: "Ken mau bikin ibu happy lagi nggak?"
Ken: "mau..."
Ibu: "Kalau gitu, Ken dan ibu nanti beresin manik-maniknya ya"

Kemudian, Ken ikut membereskan manik-manik yang berserakan di lantai dooong :''). Sejujurnya saya nggak nyangka kalau Ken mau ikut membantu. Bila saya sudah marah-marah duluan, pasti ending-nya akan bikin lelah hati, baik saya dan Ken. Sebenarnya yang bikin saya begitu senang bukan hanya karena Ken mau ikut membantu, tapi saya merasa saat itu Ken sudah bisa memahami perasaan orang lain dan menunjukkan empatinya dengan membantu ibu. Sesudahnya, so pasti Ken saya beri pujian.

Bagi saya, melakukan komunikasi seperti itu memang perlu usaha karena biasanya sudah terbawa emosi duluan. Yang pertama adalah berusaha untuk bersabar dulu dan memahami kenapa anak berperilaku seperti. Lalu, dalam berkomunikasi dengan anak kali ini, saya meng-highlight kaidah 7-38-55 (Keberhasilan komunikasi dipengaruhi oleh 7% aspek verbal, 38% intonasi suara, dan 55% bahasa tubuh). Ternyata anak lebih banyak mengobservasi apa yang kita tunjukkan dibandingkan dengan apa yang kita katakan. 


Semoga bisa makin luwes dan semoga bermanfaat untuk yang membaca ya!

Cheers!
Sawitri Wening


#hari 1
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip