Monday, October 19, 2015

Tentang Satu Tahun yang Lalu, Kini, dan Nanti


Di semester-semester akhir kuliah, saya pernah iseng menjawab ketika ditanya bapak saya soal target menikah. Waktu itu, setengah bercanda, saya menjawab pasti, "insya Allah umur 23 tahun, pak." Alasannya sesederhana saya nggak mau terjebak dalam hubungan yang berlarut-larut, dalam ketidakpastian. Jadi, saya pikir usia 23 tahun adalah usia yang pas untuk menikah, walaupun saya sendiri tidak ngoyo soal hal itu. Secara waktu itu jodoh saya siapa masih diawang-awang, belum ketemu--bahkan bayang-bayangnya pun belum ada (maksudnya saya nggak pacaran atau dekat dengan siapa-siapa), jadi yah kalau Allah berkehendak saja lah, maka pernikahan di usia itu bisa terjadi.

Rupanya apa yang kita katakan benar adalah doa, semesta mengamini perkataan saya. Kejadian demi kejadian yang mengarahkan saya menuju pertemuan dengan orang yang menjadi suami saya kelak pun saya alami. Laki-laki itu ternyata dekat dengan saya, ia menimba ilmu di tempat yang sama dengan saya. Kala itu, kami tidak pernah benar-benar dekat, tidak pernah banyak bicara atau saling sapa. Tidak pernah tahu isi hati masing-masing dan tidak pernah menyangka bahwa masing-masing dari kami merasakan getaran yang sama saat kesempatan mempertemukan kami berdua. Hingga waktunya tiba, kami baru mengetahui dengan pasti isi hati kami masing-masing yang selanjutnya berujung pada sebuah komitmen, yaitu: menikah.

Diambil saat dalam perjalanan menuju BKOW, tempat kami menikah di hari pernikahan kami. Ada kalimat tauhid di sana. Sama seperti yang tertulis di dalam mahar yang diberikannya untuk saya. 

Tepat setahun yang lalu, di usia saya yang ke-23. Laki-laki itu meminang saya dan semenjak saat itu, dia menjadi orang yang paling saya kagumi--melebihi kekaguman saya padanya waktu jaman kuliah dulu. Saya tidak pernah berhenti bersyukur karena Allah telah mengirimkannya untuk saya, sebab saya selalu ingat perkataannya untuk membuat saya bahagia, dan bagaimana ia mewujudkannya untuk saya dengan cara-cara yang sederhana yang justru membuat saya jatuh cinta lagi  kepadanya, setiap harinya. Tidak, saya tidak berlebihan hanya saja saya memang bukan orang yang romantis. Berkata-kata dan bertindak langsung secara romantis, bukan gaya saya... hehehe. Maka dari itu, saya tuliskan semua disini saja. Saya jadi ingat, dulu laki-laki itu pernah meminta maaf karena merasa dirinya tidak romantis, lalu ia meminta didoakan agar ia bisa belajar lebih romantis lagi. Tapi siapa sangka, ternyata ia lebih romantis dari yang ia kira. Seperti ketika setiap pagi, sebelum berangkat bekerja ia selalu melebarkan kedua tangannya untuk memeluk dan mencium istrinya, seperti sesederhana menyiapkan makanan kesukaan saya untuk menghibur saya, atau menjadi dirinya apa adanya yang bisa membuat saya tertawa sekaligus geleng-geleng kepala, tidak pernah malu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan banyak hal lainnya. Tanpa ia sadari, ia adalah mahluk paling romantis yang pernah saya kenal. Ah, kayaknya postingan ini sudah berubah jadi surat cinta yang panjang... jangan iri ya, heheh.

Perjalanan satu tahun ini, seperti layaknya mengemut permen kapas... eh, tiba-tiba habis. Tiba-tiba sudah setahun perjalanan yang begitu manis, namun tetap dinamis ini telah berjalan. Banyak teman-teman saya yang belum menikah kepo bertanya nikah itu enak atau nggak. Saya selalu menjawab dengan tegas, "enak!" Beneran enak banget, gimana nggak... setiap hari bisa ketemu sama orang yang disayang, bisa dengan bebas merayakan cinta, bercanda bareng, ditambah lagi dinafkahi suami, heheh. Ada nggak enaknya nggak? Jangan sedih... Ada. Tentu lah yang namanya menikah, kita akan mengalami berbagai perubahan, buat saya terutama dalam hal mengambil keputusan. Setelah menikah, apa-apa mesti memikirikan dampaknya, bukan hanya untuk diri sendiri tapi untuk pasangan dan anak. Nggak boleh lagi egois dan sedikit banyak harus mau berkorban. Mau makan Indomie goreng aja sekarang mesti minta izin suami. Eh, tapi tetap senang-senang aja lho walau begitu, mungkin karena kita melakukannya karena cinta ya, asyik~

Belum genap satu tahun, perayaan cinta itu kini semakin lengkap dengan hadirnya buah hati kami, Ken. Alhamdulillaah... Kami boleh jadi masih sering dianggap masih kecil oleh orang tua kami, atau orang lain. Eh, ini tiba-tiba perut mbelendung dan lahir lah seorang anak laki-laki ber-DNA kami berdua. Pertanyaan yang selalu muncul sebelum ia lahir, bisa emang mengurus anak? Siap jadi orang tua dan jadi panutan anak? Jawabannya ya harus siap, meskipun saya tahu kapasitas kami mungkin masih jauh, jauuuh dari apa yang disebut dengan orang tua yang baik. Sampai saat ini, kami masih belajar menjadi orang tua--baru 2 bulan jadi orang tua. Yah, bukan kah katanya menjadi orang tua adalah pelajaran yang terus-menerus. Jadi, harusnya sih mengurus anak itu nggak ada bosennya ya, apalagi anak bayi yang kalau kita ngedip dikit aja tahu-tahu sudah gede. Kehadiran Ken membuat perjalanan satu tahun ini bahkan terasa lebih cepat.

Kata orang, satu tahun pernikahan itu masih manis. Buat saya sangat manis, rasanya seperti masih pengantin baru (cieee...), walau sekarang sering dengan diiringi backsound tangisan dan cooing-nya Ken, hihih. "Masih"... betapa kata itu terkadang membuat saya bergidik. Ah, tapi hidup kan berjalan seperti roda, kadang di atas dan kadang di bawah, siapapun menyadarinya. Ya, saya memang tidak tahu bagaimana lagi kisah perayaan cinta kami, yang saya tahu saya bahagia... sebahagia itu hingga saya begitu takut kehilangan. Saya hanya bisa berdoa semoga kami bisa menjalani pernikahan ini dengan belajar, beribadah, dan berusaha menjadi lebih baik. Beruntung, suami saya adalah orang yang selalu mendukung dan membimbing saya.

Di hari ini, setelah tahu kalau ia menganggap menikah adalah kesuksesan terbesarnya, saya ingin mengucapkan selamat kepada suami saya tercinta.

"Selamat ya, sayang... Kita sudah melewati satu tahun pernikahan ini dengan saling melengkapi. mengasihi dan menyayangi yang tiada henti. Semoga kedepannya kita bisa jadi lebih baik lagi sebagai individu, pasangan hidup, sekaligus orang tua. Maafkan aku yang masih banyak kekurangannya. Jangan bosan-bosan mengingatkan dan membimbing aku, ya. Impian terbesarku adalah bisa berkumpul lagi bersama dengan kamu di syurga nanti. Aamiin..." 

Untuk mengenang setahun yang lalu, dengarkan lah Nama Tuhan dan suara lantangmu yang membuatku tersenyum haru hingga kini...


Untuk Adipati Karna-ku dari Dewi Surtikanti-mu,
"Jangan pernah bosan ya merayakan cinta bersamaku, selamanya."


Jakarta, 19 Oktober 2015
- SW -

6 comments: