Saturday, April 8, 2017

First Family Hiking at Cheddar Gorge, Somerset (Part 2)


Pendakian pertama Ken: Duduk Anteng di Back Carrier :)
Dari poster di dalam bus yang barusan kami tumpangi, saya jadi tahu kalau Wells sering dianggap sebagai kota terkecil di England. Penduduknya hanya sekitar 10 ribu orang. Memang, begitu sampai sana, saya merasa kota ini sangat tenang. Jalan-jalannya pun kecil-kecil, sampai kalau ada sebuah bus ingin belok di suatu tikungan, mobil lain yang menunggu dari arah sebaliknya seperti mau tertatabrak. Pemandangan pun berganti dari pemandangan kota menjadi padang rumput, ladang, dan peternakan domba ataupun kambing. Sungguh obat mata bagi retina yang sering terpapar cahaya dari layar hp.

Saat hendak naik bus, seorang laki-laki setengah baya menyapa saya dan menanyakan asal saya. Rupanya ia berasal dari Kota Kinibalu, Sabah, Malaysia tapi sudah 45 tahun tinggal di Inggris. Sekilas wajah dan potongan rambutnya mengingatkan saya pada aktor jepang yang sesekali pernah saya lihat di film/dorama. Laki-laki itu begitu ramah, sayang kami tidak sempat bertukar nama. Sepanjang perjalanan ke Cheddar ayah mengobrol dengannya, sementara saya menjaga Ken di kursi belakang bus yang sibuk bermain sambil melihat jendela, sesekali saya ikut menimpali obrolan mereka. Laki-laki itu sempat mau memberikan tiket bus mingguannya kepada kami, tapi karena kami sudah membeli tiket return, tidak jadi, malah jadi mubazir mungkin pikirnya. Kami turun satu stop setelahnya yang sempat bertanya seraya tertawa, "presiden Indonesia apa masih Soeharto?"

Sesampainya di Cheddar Gorge
Ken tertidur di bus tak lama sebelum kami sampai di Cheddar. Alhamdulillaah, jadi bisa fokus mengembalikan stamina tubuh pasca drama di bus tadi. Oh, dramanya masih berlanjut saat saya turun bus 😖. Saat itu kami sampai sekitar pukul 14.30. Hal pertama yang kami lakukan adalah mencari café atau apapun yg jual teh manis hangat. Seperti kebanyakan tempat wisata, di sini berjejer toko-toko makanan dan restoran. Jadi, kami tidak terlalu sulit mencari tempat. Yang sulit itu mencari makanan halal. Akhirnya setelah cap-cip-cup, kami memilih salah satu kedai teh dan memilih bangku di luar supaya bisa sekalian makan perbekalan kami, lumayan lapar juga soalnya.

Kawasan restoran dan pertokoan di Tempat Wisata Cheddar Gorge

Insight dari Istirahat di Suatu Kedai Teh
Ada yang aneh dari waitress di kedai teh itu. Mulai dari ketika ia tidak juga keluar mengambil pesanan kami. Ia kikuk ketika ditanya ada wifi atau tidak dan malah bilang, "sebentar saya tanya boss saya dulu" seolah tidak paham apa yang berlaku di tempat kerjanya sendiri. Selain itu, yang bikin saya agak tidak nyaman adalah para waiter/waitress di sana tak henti melihat aneh kami dari balik jendela. Kebetulan meja kami persis di luar, depan jendela. 

Kedai Teh tempat kami beristirahat

Saya langsung menebak dan bertanya pada ayah, "apa karena aku pakai jilbab?" Memang, sedari tadi saya tidak lihat ada orang lain mengenakan jilbab selain saya. Bisa jadi, hari itu, di tempat itu, saya adalah satu-satunya orang yang memakai jilbab. Ayah menjawab, "yah, mungkin..." Saya tidak tahu apa yang ada dipikiran mereka, bisa jadi juga tebakan saya salah. Tapi, pemberitaan akhir-akhir ini ,di social media terutama, membuat otak saya tidak bisa menghindar untuk mengait-ngaitkan antara kejadian barusan dengan apa yang mereka sebut dengan "islamophobia". Alhamdulillaah, sejauh ini tidak ada yang aneh-aneh, malah saya merasa mereka sangat toleran. Saya pernah berselancar di sebuah website yang membahas tentang dunia psikologi dan di sana ada beberapa artikel yang menuliskan tentang sulitnya menjadi seorang muslim akhir-akhir ini dan seolah menggambarkan hal tersebut begitu berat bahkan ada yang menyamakan dengan orang-orang yahudi pada masa perang dunia. Lalu, ada pula yang menawarkan bantuan khusus untuk muslim yang mengalami bullying atau kekerasan lainnya. Hal-hal seperti ini membuat saya miris sebenarnya, sambil berharap semoga tidak semakin banyak orang yang salah paham dengan agama ini dan enggan menyakiti orang lain. Terkadang saya juga merasa aneh karena apa yang saya anggap biasa-biasa saja (contohnya memakai jilbab), bisa jadi hal yang begitu asing untuk orang lain dan tidak ada hal yang lebih melegakan apabila ada di situasi tersebut, selain merasa dihargai 💕

Udah segar lagi,,, Habis ngeteh dan makan sandwich ;)

Setelah minum teh dan makan bekal, kami menyempatkan mampir ke salah satu toko keju. Mampir aja, nggak beli apa-apa 😂. Di sana ditunjukkan alat pembuat keju yang digunakan dari abad ke-12, wow tua sekali ya.  Selain itu, pengunjung bisa memilih berbagai macam jenis keju atau membeli selai buah-buahan yang dibuat secara tradidional. Kalau saya pribadi sih nggak terlalu suka, selainya asam semua (hahaha, anak kebiasaan sama gula dikasih yang alami-alami suka gimana gitu). Jadi, Keju Cheddar itu, jenis keju yang paling umum ada di pasaran dunia itu aslinya dari sini, di Cheddar Village. 

Di depan toko Keju Cheddar asli Cheddar




Selai buah-buahan
Alat pembuat keju dari Abad ke-12
Selain terkenal dengan asal keju Cheddar, di sini juga terkenal dengan pesona alamnya. Itu lah alasan utama kenapa ayahnya Ken mengajak kami ke sini. Pengin refreshing, sambil mengukur kemampuan diri (istrinya), bisa nggak mendaki naik ke atas bukit, hahah. Tapi, saya pribadi emang penasaran banget main-main ke alam gini. Nge-fans banget deh sama ibu pendaki yang ngajak anaknya usia 1,5 tahun naik Rinjani. Mengajarkan anak untuk berdekatan dengan alam itu baik menurut saya. Ken nanjak di Cheddar Gorge dulu lah ya, kalau ke Rinjani mah ibunya juga belum sanggup pasti mesti persiapan olahraga rutin. Ini senam seminggu sekali aja bolong-bolong 😅. Mudah-mudahan akan ada kesempatan-kesempatan selanjutnya atau bisa jadi hal rutin yang dilakukan keluarga kami. Tapi, lain kali mesti sedia antimo dulu kali ya, biar nggak merusak momen 😂.



Mulai pendakian!
Sebenarnya ada beberapa macam atraksi yang bisa dikunjungi di kawasan Cheddar Gorge.  Ada wisata gua, museum, look-out tower, dan Cliff-top Gorge Walk (Informasi lebih detil bisa dilihat di sini). Tapi, kami memutuskan untuk mendaki saja, dengan hanya membeli tiket seharga £5,5 per orang (di bawah 5 tahun gratis). 

Sebelum naik tangga dari gerbang Jacobs and Ladder, Ken pun dikondisikan, digendong belakang dengan menggunakan ergobaby oleh ayahnya. Orang-orang pada ngeliatin sambil senyum-senyum, mungkin dipikirnya aduh kasihan itu bapaknya kurus mesti gendong anak yang mulai berbadan bongsor 😂. Kakinya aja udah gantung banget. 



Foto diambil usai pendakian
Oke, perjalanan pun dimulai dengan menaiki tangga yang berjumlah 247 anak tangga itu. Baru beberapa puluh tangga, rasanya dah mau nyerah. Bujeeet, nggak nyangka bakalan seberat ini di awal. Setiap beberapa puluh tangga disediakan tempat untuk istirahat, biar bisa nafas dulu. Hampir semua orang yang juga menaiki tangga, pasti juga memanfaatkan space itu sambil geleng-geleng kepala, terengah-engah, senyum-senyum dan berkata dalam hati, "lanjut nggak ya..." hahah, nebak dari mukanya. Tapi, masa udah jauh-jauh ke sana sampai mabok-mabok, menyerah pas naik tangga! Kan nggak lucu ya. Yaudah, mau nggak mau kami pun melanjutkan perjalanan lagi sampai akhirnya sampai lah di puncak! Saya melihat wajah dua orang laki-laki yang naik duluan dari kami begitu senang. Tapi, ternyata mereka tidak melanjutkan perjalanan ke puncak yang sesungguhnya. Di dekat tangga tadi, sebenarnya ada tower untuk melihat pemandangan sekitar dari atas bukit, tapi kok saya nggak ngeh ya 😅. Tapi, nggak apa, pemandangan yang sama akan kami lihat sendiri setelah menanjak naik.





Kami melewati jalanan menanjak berbatu kurang lebih memakan waktu 30 menit. Di pinggir-pinggir jalan yang kami susuri ada jurang, di atas kami ada langit dan awan yang menggantung seolah begitu dekat untuk digapai, di sekeliling kami ada pemandangan kota dan pedesaan yang kelihatan mungil, dari kejauhan kami lihat juga danau buatan berbentuk lingkaran, yang ternyata bernama Cheddar Reservoir. Sepanjang jalan, kami bertemu dengan kambing-kambing gunung bertanduk panjang dengan anak-anaknya, berkeliaran bebas di sana. Meskipun kambing, tapi mereka adalah pemanjat yang ulung, mencari makan hingga di pinggir tebing.  Mereka tidak menyerang, tapi kalau didekati mereka akan menjauh (kayak gebetan kamu ya? #eaa 😷). 


Selama perjalanan naik, Ken sudah tidak tahan untuk bisa turun dan berjalan kaki sendiri. Tapi, karena keadaan jalan yang berbatu dan dekat dengan jurang, keinginannya terpaksa kami tahan dulu. Ken bertahan digendongan ayahnya sepanjang perjalanan naik. Kasihan, pasti pegal dia duduk di posisi yang sama selama hampir satu jam. Alhamdulillaah, menurut saya Ken cukup kooperatif. Ada saat-saat dia minta turun. Tapi, mudah saja caranya agar dia kembali tenang, yaitu diberi makanan/snack. Dia akan langsung diam lagi. Begini enaknya bawa toddler jalan-jalan, they like snacking so much. Jadi, nggak harus lagi disusui kalau mau buat mereka tenang 💆.

Mengenalkan Anak dengan Alam Terbuka
Beberapa kali kami berpapasan dengan para pendaki yang sedang turun. Kebanyakan adalah keluarga dan mereka membawa anak-anak usia sekolah dasar. Memang, menurut saya mengajak anak-anak menikmati pemandangan alam secara langsung merupakan hal yang wajib dilakukan oleh orang tua jaman sekarang. Dimana pada kehidupan sehari-hari, anak semakin akrab dengan gadget atau teknologi lainnya yang membatasi anak untuk bergerak aktif dan menyalurkan energinya yang besar (bayi kayak Ken aja yang udah bisa jalan dan lari-lari, energinya nggak ada habisnya kayaknya). Yang penting lagi adalah membuat anak agar mengenal alam, dengan harapan apabila sudah dewasa mereka akan menjadi anak yang menghargai kelestarian alam. 


Ken sedang menyapa bunga-bunga di taman. 

Tapi, kalau tinggal macam di Jakarta atau Bekasi gitu, mau dibawa kemana ya. Kanan kiri aja semua udah gedung dan kompleks perumahan 😥. Ruang terbuka hijau juga cuma sedikit. Jangan sedih, tapi ada kok, mak.. Terakhir sih saya ke Suropati atau Taman Cattleya udah cakep banget. Tiap sebulan dua kali ajak Ken ke sana udah happy banget, waktu itu. Ide lainnya mungkin bisa ajak ke Pantai atau Kebun Raya Bogor yang murah meriah gitu juga seru. Jadi, nggak ada alasan untuk tidak mengenalkan anak dengan alam, dengan cara sederhana sekali pun. And let's raise and teach them to be responsible with mother nature in the future 🌲. 




Balik lagi ke cerita ya. Kami sebenarnya masih bisa menanjak sedikit lagi untuk sampai puncak bukitnya. Tapi, kami memutuskan untuk berhenti di situ karena merasa hari semakin sore, sementara kami belum sholat Zuhur ataupun Ashar (akhirnya di-qada sesampainya di rumah). Ternyata benar, jalam turun itu lebih sulit daripada jalan naik karena kita harus menahan berat badan dan beban yang kita bawa, selain itu jalan yang berbatu juga menuntut untuk ekstra hati-hati agar tidak tersandung. Belum lagi di tengah perjalanan turun Ken mulai benar-benar bosan dan maunya digendong ibunya. Snack-nya udah gak mempan. Akhirnya, saya dan suami pun bertukar bawaan. Beuh, Si Ken lumayan juga ya... udah lama nggak gendong dia pakai ergobaby soalnya. 


Kambing gunung yang lincah



Sesampainya di bawah, setelah menuruni 247 anak tangga tadi. Ken langsung kami biarkan berjalan sepuasnya, sekitar 15 menit sembari menuju bus stop. Alhamdulillaah, waktunya ternyata paaas sekali. Tak lama, bus kami datang. Padahal bus itu hanya ada sejam sekali. Keputusan yang tepat untuk mengakhiri perjalanan saat menanjak tadi. Dari sini kita belajar untuk menentukan prioritas. 

Saya sudah bersiap melewati perjalanan panjang di dalam bus menuju rumah. Sebelum naik bus, ayah berpesan untuk memilih tempat duduk di lantai bawah, belakang supir. Katanya cara itu efektif mengurangi risiko mabok darat. Rupanya suami saya sampai googling. Mungkin dia kapok diminta membersihkan muntahan lagi, jadi mesti lebih antisipasi 😂. Perjalanan dari Cheddar-Wells mulus. Lain cerita dengan Wells-Bristol yang memakan waktu lebih lama. 

Alhamdulillaah, setelah pengalaman pertama family hiking kemarin, saya merasa recharged lagi. Walaupun lelah dan pegal, sampai nggak minat lagi pergi senam keesokan harinya, tapi semuanya terbayar dengan kebahagiaan dan pelajaran yang didapat selama perjalanan kami kemarin.  


Akhir perjalanan, sebelum turun tangga yang melelahkan ituh!


Ken sedang asyik minum smoothies

Ternyata kebahagiaan itu nggak melulu datang dari hal yang senang-senang saja. Tapi, juga dari kesusahan dan kesulitan yang kita hadapi, ketika kita sadar kalau akan selalu ada orang yang ada untuk mendukung kita. Saat merasa dijudge oleh orang yang bahkan tidak kita kenal. Saat merasa tidak berdaya dan merasa ingin menyerah. 

Di perjalanan dari Coach Station menuju flat, suami saya berkata, "kamu tahu nggak tadi aku lap muntahan kamu pakai apa?"
"tissue basah?"
"Nggak cukup. Pakai sarung tangan aku."
"Ha? Terus kamu bawa lagi?"
"Nggak lah, aku buang. Udah bekas muntah gitu, hiii..."


... Dan menyadari semua itu seringkali datang dari hal yang kita anggap biasa-biasa saja.


The Rasyadi Family 

Semoga ingat terus and see you on the next adventure!

Sawitri Wening



For more readings & Researches:

9 comments:

  1. Waaa...seruuu. Baru tahu Cheddar itu nama tempat. Ken cute deh 😍😄

    ReplyDelete
  2. seru banget mbak hikingnya....tempatnya juga ciamik ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak Prana.. Lumayan lah untuk pengalaman pertama hehe

      Delete
  3. Replies
    1. Banget, mba.. Maesti sempetin kesini deh kalau ke Somerset ;)

      Delete
  4. Ya ampun Cheddar ternyat nama tempat. Mbaaa tempat dan pemandangannyaaa mupeng banget :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya aku juga baru tahu setelah tinggal di sini mbak.. :D

      Delete
  5. Hihi..duduk di depan belakang pak sopir itu emmang paling ampuh untuk mengusir mabok, Mbak. Dulu pas masih kecil aku juga sering gitu. wkwk

    ReplyDelete