Rabu (15/04/15) minggu kemarin, saya mengajak suami saya menonton "Filosofi Kopi" usai pulang kantor. Sebenarnya sih, saya ngga terlalu penasaran dengan film ini. Ini juga bukan film yang saya tunggu-tunggu sejak lama. Hal yang membuat saya tertarik dengan film ini adalah film ini diambil dari salah satu karya penulis favorit saya, Dewi Lestari. Meskipun Mbak Dee adalah penulis favorit saya, sejujurnya saya belum pernah membaca karyanya yang satu ini. Maka, sambil mengusir kesuntukkan, saya pun memutuskan untuk mengisim whatsapp ke suami saya sore itu dan menawarkannya untuk nonton film ini.
Film ini bercerita tentang dua orang sahabat yang merintis usaha kedai kopi di Jakarta. Jody berperan sebagai investor sekaligus manager operasional dan Ben yang berperan sebagai salah seorang barista di kedai itu. Mereka berdua bagaikan dua kutub bumi yang berbeda cara berpikirnya, namun saling melengkapi. Ben yang begitu terobsesi dengan kopi percaya kalau dengan menyediakan kopi terbaik adalah cara yang paling tepat untuk mendatangkan tamu ke kedainya. Sementara itu, Jody berpikir untuk membuat kedai kopinya bertahan, ia harus melakukan efisiensi anggaran termasuk dalam pembelian bahan baku kopi, dan memilih menginvestasikan uangnya untuk menambah fasilitas kedainya dengan wifi, yang menurutnya membuat banyak orang lebih tertarik. Keduanya begitu berbeda, tetapi saling bergantung satu sama lain. Perdebatan diantara keduanya tidak dapat dielakkan hingga takdir mempertemukan mereka untuk menemukan jawaban yang paling tepat atas pertanyaan mereka selama ini. Konflik yang menurut saya begitu pas dimunculkan dalam cerita ini. Sebuah tantangan yang mampu menghilangkan dahaga mereka apabila mereka dapat menuntaskannya dengan baik.
Dalam perjalanan mencari jawaban yang tersembunyi dalam secangkir kopi tiwus, yang kata El adalah kopi terenak yang pernah diminumnya, mereka akhirnya menemukan lebih dari apa yang mereka cari. Film ini mengajarkan saya tentang cinta yang sederhana, yang seringnya tidak kita duga dan sadari. Seperti Pak Seno yang selalu merawat kebun kopinya dengan tulus, tanpa tetek bengek teori ini itu untuk menghasilkan kopi yang enak untuk dinikmati,
Mungkin kita harus lebih sadar ya, kalau hal-hal kecil yang dilakukan oleh orang-orang disekitar kita bisa jadi adalah cara mereka menunjukkan perhatian dan kasih sayang mereka. Atau hal-hal kecil yang kita lakukan untuk orang lain bisa jadi bikin orang lain itu senang. Hihih, itu sih salah satu insight yang aku dapat dari film ini.
Semoga bisa terus sadar deh sama pesan ini. Apalagi sekarang kan lagi siap-siap menyambut anggota baru kerajaan. Jadi, mari buang segala kepusingan, kekhawatiran, dan kegundahan dalam diri. Keep thinking positive!
- SW -
Dalam perjalanan mencari jawaban yang tersembunyi dalam secangkir kopi tiwus, yang kata El adalah kopi terenak yang pernah diminumnya, mereka akhirnya menemukan lebih dari apa yang mereka cari. Film ini mengajarkan saya tentang cinta yang sederhana, yang seringnya tidak kita duga dan sadari. Seperti Pak Seno yang selalu merawat kebun kopinya dengan tulus, tanpa tetek bengek teori ini itu untuk menghasilkan kopi yang enak untuk dinikmati,
Mungkin kita harus lebih sadar ya, kalau hal-hal kecil yang dilakukan oleh orang-orang disekitar kita bisa jadi adalah cara mereka menunjukkan perhatian dan kasih sayang mereka. Atau hal-hal kecil yang kita lakukan untuk orang lain bisa jadi bikin orang lain itu senang. Hihih, itu sih salah satu insight yang aku dapat dari film ini.
Semoga bisa terus sadar deh sama pesan ini. Apalagi sekarang kan lagi siap-siap menyambut anggota baru kerajaan. Jadi, mari buang segala kepusingan, kekhawatiran, dan kegundahan dalam diri. Keep thinking positive!
- SW -