Beberapa bulan terakhir ini, anak saya yang berusia 2 tahun, sedang keranjingan sama yang namanya Jam. Iya, jam biasa aja yang suka ada di dinding rumah kamu atau ada di tangan kamu (jam tangan maksudnya, hehe). Intinya segala macam jam dia suka. Kesukaannya pada jam ini ada pada level kalau diajak pergi kemana yang pertama kali ditanya adalah “Di sana ada jam nggak?”. Hmmm… Mungkin buat sebagian orang, hal ini kelihatan ajaib atau bahkan nggak penting ya. Tapi, di usia anak saya sekarang, bukan kah banyak hal-hal ‘ajaib’ yang suka bikin kita takjub? Dan yang nggak penting di mata orang dewasa itu, justru adalah hal yang menakjubkan buat anak-anak. Jadi, buat para orang tua, fase ini bisa jadi waktu yang sangat menyenangkan sekaligus membosankan karena harus menghadapi anak yang bahas itu-itu lagi. Tapi, sebelum kita mematikan semangat belajar anak kita, mari kita bahas di sini ya. Yuk~
|
My son with the clock toy that he found during our visit to a kindergarten |
Setelah mencari tahu dari berbagai sumber, saya menemukan kalau ternyata para ahli menyebut fase yang sedang dihadapi oleh anak saya saat ini dengan ‘intense interest’ atau kalau diterjemahkan menjadi ‘ketertarikan yang sangat kuat’ terhadap sesuatu. Fase ini biasanya muncul pada usia 2-6 tahun dan biasanya akan bertahan 6 bulan atau bahkan ada yang sampai 3 tahun (DeLoache & Simcock, 2007). Mungkin, nggak semua anak melalui fase ini sih. Hal yang menjadi ketertarikannya bisa apa saja, seperti dinosaurus, firetruck, tokoh kartun, dll. Jadi, pada fase ini anak akan merasakan ketertarikan yang membuncah terhadap sesuatu, sehingga rasa ingin tahunya terhadap hal itu menjadi sangat besar dan menjadi topik pembicaraan yang paling ia senangi.
Ternyata, dari yang saya baca, fase ini dapat berguna bagi perkembangan kognitif maupun psikologis anak. Karena di usia dini ini, kebutuhan anak masih banyak dibantu oleh orang dewasa, tentu manfaat dari fase ini bisa diambil dengan adanya ‘bantuan’ dari orang dewasa/caregiver. Bagaimana kita menanggapi dan ‘memfasilitasi’ ketertarikannya. Soal ini, mari kita bahas satu-satu di bawah ini.
Memupuk Rasa Ingin Tahu & Melatih Kemampuan Berpikir
Anak tidak perlu diajarkan untuk mencari tahu karena secara natural, mereka adalah mahluk yang senang belajar dan mencari tahu. Saya yakin yang kita butuhkan adalah bagaimana caranya memupuk rasa ingin tahu tersebut untuk selalu ada pada diri anak kita. Tentu saja di sini yang saya bicarakan rasa ingin tahu yang positif yaa, bukan kepo buat cari tahu urusan orang lain :’D. Nah, ketika anak ada di fase ini, dia akan dengan senang hati memperhatikan hal yang sedang mengusik ketertarikannya itu. Misal, anak yang suka dinosaurus akan bersemangat ketika memperhatikan buku yang menjelaskan tentang dinosaurus. Kalau anak saya, dia nggak akan bosan-bosan memperhatikan jam, mulai dari angkanya, warnanya, sampai gerakan jarumnya. Karena hal ini, dia mampu mengidentifikasi kalau gerakan jarum antara satu jam dengan jam lainnya berbeda atau angka di jam A berbeda dengan jam B. Lalu, dia mulai bertanya mengenai angka 1-12 yang berujung pada ketertarikannya untuk berhitung di usianya sekarang. Iya, ternyata Ken sudah mulai tertarik dan berinisiatif berhitung. Pada anak yang suka dinosaurus, dia akan bertanya jenis-jenis dinosaurus yang ada di buku dan dengan mudah menghapal nama-nama dinosaurus yang entah berapa banyak itu ya. Pertanyaan dan rasa ingin tahu tersebut yang akhirnya membuat anak-anak ini tahu lebih banyak hal (spesifik tentang hal yang jadi obsesinya) daripada anak lain seusianya. Tahu kan ya, otak anak-anak itu ibarat sponge yang gampang sekali menyerap informasi. Jadi, harus dimanfaatkan dengan meng-encourage anak untuk lebih banyak bertanya sekaligus melatih kemampuan berpikirnya kelak. Seperti yang dituliskan pada sebuah penelitian di bawah ini:
“A 2008 study found that sustained intense interest, particularly in a conceptual domain like dinosaurs, can help children develop increased knowledge and persistence, a better attention span, and deeper information-processing skills” (Morgan, 2017)
Melatih Kemampuan Lainnya
Kita juga bisa memanfaatkan kecintaannya pada suatu hal ini untuk mengajarinya hal lain. Misal, pada anak yang suka mobil akan lebih suka mengerjakan sesuatu yang ada gambar mobilnya, misal bermain puzzle, berhitung, mewarnai, dsb. Pernah suatu ketika saya mengajak anak saya mewarnai dengan Crayon, tetapi dia belum tertarik. Biasanya, kalau seperti ini saya tidak akan memaksa. Tapi, ketika saya mengajak anak saya mewarnai gambar jam dengan crayon, dia dengan senang hati mengerjakannya. Artinya, dengan memanfaatkan kesukaannya, saya bisa sekaligus melatih kemampuan lain, seperti motorik halus anak saya, yang ternyata dia mampu. Begitu juga dengan kemampuan berhitung yang memang sengaja belum saya kenalkan. Tapi, malah anaknya sudah tertarik duluan, jadi tak ada ekspektasi berlebih dalam prosesnya.
Poin saya di sini adalah, kita bisa lho memanfaatkan ketertarikannya ini untuk mengajak anak melakukan kegiatan yang bisa meningkatkan kemampuan lainnya dengan lebih menyenangkan. Sama aja kayak kita, kalau belajar tentang sesuatu yang menurut kita menyenangkan, pasti akan lebih mudah menangkap isi pelajaran itu.
Meningkatkan Rasa Percaya Diri Anak
Ternyata intense interest ini, menurut ahli juga bisa jadi confidence booster buat anak atau bikin anak jadi lebih percaya diri (Morgan, 2017). Ketika anak menyukai suatu topik tertentu dan secara natural semangat mempelajari tentang hal itu, dia akan mendapat banyak pengetahuan tentang topik tadi. Misalnya pada anak yang memiliki intense interest dengan mobil, ia mampu membedakan dan mengingat jenis dan nama-nama mobil yang pastinya tidak semua anak-anak seusianya bisa lakukan. Ini semacam jadi pengalaman pertamanya merasa jadi expert dalam suatu hal dan dia akan lebih bersemangat membicarakan hal itu pada orang lain, bahkan dengan orang dewasa. Yang bisa kita lakukan adalah me-reinforce hal tersebut dengan memberinya pujian yang semestinya. Hal ini juga saya perhatikan pada anak saya yang tidak segan dan bersemangat berbicara dengan orang lain tentang hal yang disukainya. Ia juga kelihatan bangga ketika ada orang dewasa yang (mungkin iseng ya, karena lihat anak ini suka banget sama jam) bertanya tentang angka dan dia bisa menjawabnya. Meskipun kalau keseringan ditanya, dia akan malas-malasan jawabnya, hahaha. Gengges kali ah ditanyain terus.
Fase ini juga bisa jadi ‘warning’ tentang adanya masalah perkembangan anak, apabila sudah terasa mengganggu. Misalnya, anak jadi terlalu attached dengan benda yang disukainya sampai tidak mau dipisahkan, lalu tantrum hebat atau cemas dan mengganggu fungsi sosial mereka. Kalau seperti ini, sebaiknya segera dikonsultasikan ke psikolog anak ya.
Jadi, kira-kira begitulah sedikit cerita tentang manfaat intense interest pada anak yang saya dapatkan dan juga hasil observasi anak sendiri. Menarik banget ya. Buat yang mau baca-baca, saya tulis sumber bacaan terkait topik ini di bawah ya.
Kalau ibu-ibu gimana, apakah ada yang anaknya sedang atau pernah mengalami fase yang sama?
Salam,
SawitriWening
Sumber:
The Development of Conceptual Interest in Young Children. 2008. Alexander, J.M., et al. Cognitive Development: United States
Planes, Trains, Automobiles—and Tea Sets: Extremely Intense Interest in Very Young Children. DeLouche, J.S., et al. 2007. Developmental Psychology